Oleh :Dr. Ir. Erwanto, M.S.
Ketika memimpin rapat terbatas secara virtual Selasa 6 Oktober 2020, Presiden Joko Widodo kembali mengungkapkan kegundahannya mengapa gagasan “bisnis pertanian rakyat model korporasi petani” belum mampu diwujudkan. Padahal gagasan tersebut telah dilontarkan sejak periode pertama kabinetnya. Ketika itu, harapan presiden segera direspon dengan lahirnya Permentan RI No. 18 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani. Model bisnis korporasi petani diyakini presiden akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas bisnis.
Secara konseptual isi Permentan RI No. 18 Tahun 2018 sudah cukup baik dan lengkap. Korporasi petani dimaksudkan sebagai kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani. Sedangkan kawasan pertanian berbasis korporasi petani adalah kawasan pertanian yang dikembangkan dengan strategi memberdayakan dan mengkorporasikan petani.
Permentan No 18 Tahun 2018 juga mengatur secara rinci beberapa aspek penting dari pelaksanaan program, yaitu: penetapan kawasan; penyusunan master plan dan action plan; organisasi pengelola kawasan; jenis kegiatan-kelembagaan-infrastruktur; kelembagaan korporasi petani; serta rantai pasok komoditas. Namun, penerapan konsep korporasi petani di lapang sangat sulit dibayangkan. Banyak hal-hal baru yang potensial menjadi kendala muncul ketika bisnis model korporasi petani akan dibangun.
Selama ini petani/peternak melaksanakan kegiatan bisnisnya secara indvidual. Walaupun sebagian dari mereka tergabung dalam kelompok tani, tetapi pengelolaan bisnisnya tetap secara individual. Dengan demikian, bagi petani kita transformasi dari bisnis individual menuju bisnis model korporasi petani adalah suatu lompatan yang sangat besar. Lompatan ini tentu memunculkan kegalauan pada pelaksana program dan juga semacam “gegar budaya” pada petani. Situasi inilah yang menyebabkan sulitnya menginisiasi pengembangan bisnis model korporasi petani di lapang.
Korporasi petani dapat dianggap sebagai lembaga bisnis yang melibatkan banyak petani. Organisasi bisnis yang melibatkan banyak anggota harus memiliki struktur dan aturan main yang jelas. Sulit membayangkan suatu organisasi bisnis bisa dibentuk secara instan. Secara kronologis, suatu organisasi bisnis akan melalui siklus berikut: lahir, tumbuh, berkembang, dan kemudian mapan. Oleh karena itu program membangun bisnis model korporasi petani tidaklah sederhana, banyak aspek non-teknis yang harus disiapkan termasuk SDM, organisasi bisnis, aturan main, dan lain-lain.
Tahun 2020 Ditjen Peternakan dan Keswan melaksanakan pilot project “Program 1000 Desa Sapi” dengan pendekatan korporasi petani. Program super prioritas ini dilaksanakan serentak di 5 Provinsi, yaitu Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT. Pada setiap provinsi ada 5 desa (dalam satu kawasan) di satu kabupaten terpilih akan mendapatkan paket bantuan pemerintah. Kepada kelompok tani di setiap desa yang terpilih akan diserahkan paket bantuan berupa 100 ekor sapi induk untuk bisnis bibit, 100 ekor sapi bakalan untuk penggemukan, bangunan kandang, dan biaya pakan.
Kelompok tani penerima bantuan disiapkan melalui bimbingan teknis oleh narasumber yang kompeten dari perguruan tinggi, industri, praktisi, dan aparatur pemerintah. Materi bimtek mencakup aspek manajemen korporasi, agribisnis sapi potong, teknis budidaya perbibitan dan penggemukan, dan pemanfaatan limbah ternak. Bimtek dirancang untuk menyiapkan kelompok peternak, sehingga mampu mengelola bisnis sapi potong secara kolektif berjamaah dalam bentuk korporasi peternak. Konsolidasi petani dalam korporasi diharapkan akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas bisnis.
Secara konseptual Program 1000 Desa Sapi sudah dirancang cukup baik. Namun, mengingat pendekatan korporasi petani relatif baru dan menuntut transformasi radikal pada praktik bisnis peternak maka proses pengawalan dan pendampingan lapang menjadi sangat penting. Ada beberapa hal krusial yang harus dicermati dalam program ini. Pertama, harus disusun jelas struktur organisasi bisnis korporasi peternak. Sebagian anggota kelompok yang memiliki ilmu dan keterampilan lebih dapat diberi mandat untuk mengelola bisnis.
Kedua, perlu disusun secara partisipatif aturan main dalam korporasi. Aturan main harus mampu menumbuhkan aspek mutual trust, mutual respect, dan mutual care. Terkait hal ini diperlukan pendampingan untuk penguatan kelembagaan korporasi petani. Pada tahap awal pendampingan harus dilakukan secara aktif, sehingga potensi kendala dapat diantisipasi lebih awal dan segera diatasi.
Ketiga, peningkatan daya dukung pakan baik hijauan maupun konsentrat. Seperti diketahui, salah satu permasalahan pakan sapi potong di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan pakan sumber protein yang harganya terjangkau. Untuk mengatasi masalah nutrisi protein, mungkin ada baiknya diadakan “gerakan penanaman tanaman leguminosa pohon” di kawasan peternakan. Hijauan leguminosa pohon umumnya memiliki kadar protein kasar >20% bahan kering, jauh di atas kadar protein rumput yang <10% bahan kering. Program ini murah dan sederhana, tetapi dampaknya akan sangat positif terhadap keberhasilan program.
Program 1000 Desa Sapi segera dieksekusi di lapang mulai Oktober 2020. Mengingat bahwa pelaksanaan program ini memiliki tingkat kesulitan tinggi maka partisipasi seluruh stakeholder sangat diharapkan, terutama untuk mengamati dan mengawal jalannya program serta memberi masukan-masukan konstruktif. Semoga inisiatif Ditjen Peternakan dan Keswan membumikan korporasi peternak dapat berhasil dengan baik. Tabik Pun! **
Dr. Ir. Erwanto, M.S adalah Dosen Fak. Pertanian Unila & Anggota ISPI
Mantap…
Program yg merakyat dan bisa di adopsi oleh petani di pedesaan, insyaallah petani di Desa menyambutnya dengan baik.
Bagus-bagus program keren, aplikasi di lapangan di tunggu, kapan desa ngasem kecamatan batealit kabupaten jepara provinsi jawa tengah dimasukkan dalam programnya? Matur nuwun…