Tahun 2020 ini dunia peternakan mengalami gejolak akibat pandemi covid 19. Namun melihat sektor pariwisata dan industri transportasi yang banyak mengalami PKH, industri peternakan sebagai penyedia pangan tidak mengalami gejolak yang separah industri lain.
Pada webinar nasional outlook bisnis peternakan yang diselenggarakan ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) November 2020 silam, para narasumber mencatat bahwa tahun 2020 ini market ayam broiler diperkirakan turun 30 % sedangkan layer diperkirakan stagnan, tidak mengalami penurunan yang berarti. Terjadinya penurunan pasar menyebabkan terjadi oversupply. Bahkan saat masuk tahun 2020 pun dimana waktu itu belum terpikir adanya pandemi Covid 19, dunia usaha sudah khawatir akan terjadinya over supply karena ekonomi global diperkirakan mengalami perlambatan.
Sementara itu jika dibandingkan dengan krisis tahun 1998, situasi tahun 2020 masih relatif “ringan” karena di era tersebut terjadi pengurasan produksi broiler hingga 70% dimana populasi waktu itu hampir mendekati 1 miliar ekor, terjadi kemerosotan hingga tinggal tersisa 300 juta ekor.
Lingkaran Siput yang Kian Membesar
Gejolak harga di pasar komoditi termasuk komoditi ayam, sepertinya sudah dianggap sebagai peristiwa biasa sehingga pemerintah kerap kali membiarkan situasi ini hingga kemudian harga mengalami koreksi secara alami. Namun gejolak perunggasan saat ini terasa jauh lebih besar dibanding gejolak yang terjadi 10-30 tahun yang lalu.
Kejadian ini sudah pernah diramalkan oleh Soehadji (Dirjen Peternakan 1986-1994) di tahun 1990an. Ia menyebut masalah gejolak harga perunggasan ini adalah masalah klasik yang berulang-ulang yang dapat digambarkan sebagai lingkaran siput . Dimulai dari harga melonjak karena kekurangan pasokan, disusul penambahan populasi oleh pelaku usaha besar maupun kecil, hingga kemudian terjadi over supply yang membuat harga jatuh. Selanjutnya dilakukan pengurangan investasi secara alami, yang kemudian menyebabkan harga naik lagi dan seterusnya berputar berulang-ulang, makin membesar, dan membesar, seperti lingkaran siput.
Bisa kita bayangkan, tahun 1990an, populasi ayam sekitar 800 juta ekor, tahun 2019 ini diperkirakan 3 miliar ekor. Gejolak akibat fluktuasi harga pastinya jauh lebih dashyat dibanding fluktuasi tahun 1990an. Apalagi jika kondisi harga jatuh berlangsung berbulan-bulan. Total kerugian yang diderita peternak dan perusahaan sarana produksi ternak mencapai puluhan triliun rupiah.
Karena peternak mandiri maupun integratror sama-sama pemain komoditi (menjual ayam hidup), maka selama ini mereka sama-sama terjebak pada commodity trap (jebakan komoditi dimana harga tergantung pada supply demand). Sudah bisa ditebak, jika harga jatuh, peternak dengan modal kecil yang umumnya tidak memiliki “cadangan devisa” ketika harga jatuh, akan mudah mengalami kebangkrutan.
Upaya Memutus Lingkaran Siput
Sesungguhnya naik turunnya permintaan ayam dapat diprediksi setiap tahun oleh para pelaku usaha dan pemerintah. Indonesia punya hari raya yang biasanya meningkatkan permintaan. Ada juga musim sepi pembeli, misalnya di kala tahun ajaran baru. Bulan tertentu dimana banyak hajatan di daerah tertentu akan terjadi peningkatan permintaan, demikian pula keramaian Pilkada bisa mendongkrak permintaan ayam dan telur.
Pada negara yang pasarnya didominasi fresh commodity, maka campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Hal ini karena produk peternakan mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply demand menjadi faktor penting penentu harga.
Manajemen Pasokan
Campur tangan pemerintah perlu dilakukan mulai dari hulu hingga hilir. Pada bagian hulu, pemerintah perlu berperan melakukan supply management (manajemen pasokan). Di sini, pemerintah bersama stakeholder perunggasan melakukan prediksi pasar setiap tahun dan mengatur pasokan bibit per bulan agar sesuai dengan naik turunnya permintaan. Jika datanya akurat, mestinya teknologi informasi 4.0 dengan kecerdasan buatannya mampu melakukan simulasi kecenderungan permintaan di setiap daerah.
Sejak beberapa tahun ini, manajemen pasokan sudah dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk tim analisa supply demand perunggasan yang terdiri dari para ahli independen. Memang hasilnya belum memuaskan dan harus terus diperbaiki, Soal kuota impor bibit misalnya, masih terjadi pro kontra dimana hal ini perlu dikomunikasi dan didiskusikan lebih lanjut agar manajemen model manajemen pasokan melalui perencanaan impor GPS memenuhi syarat iklim usaha yang kondusif dan berkeadilan. Atau dibuka impor dengan bebas dan ada mekanisme kontrol dengan model tertentu. Intinya menurut manajemen pasokan itu tetap diperlukan.
Hilirisasi
Supply management di hulu tidaklah selalu akurat karena faktor penentunya relatif banyak. Oleh karena itu perlu campur tangan di hilir yaitu mendorong tumbuhnya usaha pemotongan penyimpanan dan pengolahan. Sehingga hasil usaha peternak tidak lagi dijual sebagai ayam segar melainkan ayam beku, ayam olahan, ataupun inovasi produk lainnya. Cara ini akan efektif untuk mengurangi gejolak harga yang tidak wajar. Patut dicatat, dari 3 miliar ekor ayam yang diproduksi Indonesia tahun 2019, yang dijual sebagai ayam beku baru sekitar 10-20% saja. Angka ini perlu ditingkatkan untuk mengurangi terjadinya commodity trap yang terjadi selama ini.
Perusahaan menengah dan besar pada umumnya tidak tertarik dengan program hilirisasi. Oleh karena itu sangat wajar jika pemerintah melakukan dukungan terhadap program hilirisasi baik berupa campur tangan penyimpanan melalui lembaga semacam Bulog ataupun insentif untuk pengusaha yang melakukan usaha hilir (pemotongan, penyimpanan, pengolahan). Hal ini wajar karena perunggasan adalah bisnis peternakan yang paling banyak menyerap tenaga kerja, namun nyaris tak pernah mendapat dukungan APBN.
Ekspor untuk Stabilisasi
Selama ini program yang dilakukan pemerintah untuk stabilisasi harga adalah dengan melakukan pemangkasan telur tetas, afkir dini parent stock dan upaya pemangkasan produksi yang lain. Sementara itu mengurangi produksi dalam negeri dengan melakukan ekspor belum secara nyata dilakukan. Ada program gerakan tiga kali ekspor oleh kementan tapi fokusnya lebih ke peningkatan devisa negara, bukan stabilisasi harga. Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Perancis beberapa tahun lalu, tatkala oversuply produksi susu sapi akibat embargo ke Rusia, pemerintah setempat membeli susu milik peternak dan melakukan ekspor ke negara berkembang, baik sebagai bantuan kemanusian maupun aktivitas lainnya.
Sementara itu, pemerintah juga perlu memanfaatkan dana APBN untuk kampanye konsumsi ayam dan telur. Masih ada ruang untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur sebesar 2 kali lipat dari sekarang, karena kita melihat konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, sekitar 4.000 batang rokok per orang per tahun, sementara konsumsi ayam hanya 13 kg/kapita/tahun dan konsumsi telur hanya 150 butir/kapita/tahun. Jika konsumsi naik 2 kali lipat saja, bisnis perunggasan akan menciptakan jutaan tenaga kerja baru sekaligus usaha perunggasan akan semakin bergairah.
Tahun 2011 lalu Menteri Pertanian Suswono mencanangkan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) yang diinisiasi oleh 14 asosiasi perunggasan. Pencanangan ini sebagai upaya untuk mempercepat peningkatkan konsumsi ayam dan telur. Sayangnya, kegiatan kampanye ayam dan telur ini dijalankan sendiri oleh para peternak dan asosiasi perunggasan. Belum ada dukungan nyata dari pemerintah untuk mendongkrak konsumsi ayam dan telur agar tidak terpaut jauh dengan konsumsi negara tetangga. Padahal Kementerian Perikanan dan Kelautan memiliki program gemar makan ikan (Gemarikan), dengan tim yang lengkap dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga konsumsi ikan secara nyata mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding konsumsi ayam dan telur.
Ancaman Daging Ayam Brazil dan Daging Buatan
Tahun 2021 perunggasan diperkirakan akan masih akan mengalami gejolak. Para ahli memperkirakan jika pengendalian Covid 19 bisa dilakukan lebih baik melalui upaya vaksinasi dan yang lainnya, diperkirakan market unggas mengalami pertumbuhan. GPMT dan ASOHI memperkirakan pasar peternakan akan dapat naik sekitar 5% .
Namun di perunggasan sendiri ada ancaman yang dapat membuat gejolak lingkaran siput menjadi lebih besar, yakni masuknya ancama daging ayam Brasil sebagai konsekuensi kemenangan Brasil atas Indonesia di sidang WTO. Dengan adanya pandemi, para ibu rumah tangga semakin terbiasa membeli daging beku dan paham cara menanganinya. hal ini berarti jika daging ayam beku asal Brasil masuk dengan harga lebih murah dan dipercaya halal, maka publik akan menerima kehadiran daging ayam beku. hal ini akan mengurangi pasar peternak dalam negeri.
Tantangan lain adalah isu daging buatan. Baru-baru ini Singapura mengizinkan daging buatan laboratorium. Apakah ini akan menjadi ancaman bagi peternakan? Diperkirakan Indonesia tidak akan mudah menerima daging jenis ini karena harus melalui kajian ilmiah dan kajian agama. Namun para pakar di ISPI dan organisasi terkait perlu menyikapi sedari dini agar tidak menjadi ancaman besar bagi dunia usaha peternakan.
Selamat Menyambut Tahun Baru 2021 .
Jakarta, 31 Desember 2020
Penulis: Bambang Suharno, Pemimpin Redaksi Majalah Infovet, Pengamat Peternakan