“Belgian Blue” di Persimpangan

Oleh:
Suyadi (Fak. Peternakan, Universitas Brawijaya)
Nuzul Widyas (Program Studi Peternakan, Universitas Sebelas Maret)

Pengembangan sapi potong di dalam negeri dalam rangka mengejar target memenuhi kebutuhan daging sapi (red meat) terus dilakukan oleh Pemerintah dengan melalui berbagai strategi, namun sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda titik cerah. Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan (GBIB) secara massif, disusul dengan program Usaha Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (USPUS SIWAB), dan sekarang diubah.

Namanya menjadi SIKOMANDAN adalah upaya-upaya nyata pemerintah untuk menutupi celah (gap) antara jumlah permintaan dan kemampuan untuk penyediaan, supply – demand gap. Namun hasilnya belum juga memberikan harapan cerah serta mempersempit gap tersebut, melainkan semakin lama semakin terlihat jelas dalam benak dan bayangan adanya gap yang semakin lebar.

Kondisi ini sangat memprihatinkan, pasalnya setiap hari produk peternakan berupa daging dan lain sebagainya selalu dibutuhkan dan semakin lama kebutuhan ini semakin meningkat. Dalam kondisi bimbang seperti ini, pemerintah membuat terobosan baru yaitu melakukan introduksi breed baru yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ternak sapi dalam satuan unit reproduksi dan satuan waktu tertentu.

Introduksi breed baru yang dimaksud adalah sapi bangsa “Belgian Blue” atau disingkat BB sejak tahun 2017 atau awal tahun 2018. Sebelumnya juga sudah pernah dicoba introduksi sapi Wagyu dari Jepang dan telah berlangsung lebih 10 tahun, juga breed “Galician Blond” yang berasal dari Spanyol yang dikembangkan di Bengkulu sejak tahun 2017 (https://bengkuluprov.go.id/investor-spanyol-jajal-investasi-sapi-galician-blond-di-bengkulu/).

Sapi BB dipahami memiliki pertumbuhan cepat, efisiensi penggunaan pakan tinggi, dan bobot dewasa mencapai 1200 kg atau bisa lebih. Introduksi sapi BB diharapkan dapat meningkatkan produktivitas daging sapi dalam negeri secara cepat, sehingga menurut programnya akan mampu swasembada daging sapi di tahun 2026. Dikutip oleh Media “REPUBLIKA” tanggal 18 Mei 2020. Saat itu Dirjen PKH menyampaikan bahwa rata-rata berat kelahiran BB murni 52,4 kg, dan BB persilangan antara 27-55 kg. Kemudian pertambahan berat badan harian 1,2-1,6 kg/hari. Bobot sapi jantan dewasa bisa mencapai 1.100-1.250 kg. Belgian Blue adalah salah satu harapan masa depan pengembangan sapi potong di Indonesia.

Dengan rasa optimisme tersebut, lalu bagaimana kelanjutan pengembangan BB di Indonesia yang telah berlangsung selama 3 tahun terakhir ini? Rasa optimistik dan pesimistik bercampur, ini berdasarkan hasil pengamatan, pandangan dan berbagai diskusi yang dilakukan oleh para praktisi dan para ahli. Dengan berganti-ganti breed yang ingin dikembangkan di Indonesia secara nasional tanpa arah yang jelas, maka ini nampaknya sudah tidak sesuai dengan “kodrat teori breeding” dalam upaya untuk menghasilkan breed Indonesia unggul dan juga peningkatan mutu genetik.

Dari pengalaman di dunia, rumus breeding sudah banyak menghasilkan sapi-sapi komersial yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat menuguntungkan. Sehingga usaha komersial breeding di beberapa negara menjadi komoditas bisnis yang sangat diminati. Namun di negeri ini kondisinya bisa berbalik. Dimana komoditas usaha breeding sapi ini sangat ditakuti dan dihindari oleh para pengusaha peternakan sapi. Kenapa? Karena mereka takut rugi dan tidak sesuai dengan modal yang diinvestasikan untuk pengembangan breeding. Dari pelajaran pengembangan sapi BB di Indonesia sebenarnya ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik untuk nantinya dijadikan dasar dalam penentukan kebijakan pengembangan ternak sapi ke depan. Beberapa hal yang akan dibahas adalah masalah konsep breeding, issue animal welfare, kemungkinan depopulasi dan pola pewarisan sifat.

Konsep breeding
Program breeding merupakan Langkah awal dari system peternakan (Livestock farming) berkelanjutan. Breeding memiliki 3 tujuan, yaitu meningkatkan mutu genetik, meningkatkan produktivitas dan menjamin keberlanjutan usaha peternakan. Untuk bisa mencapai ke 3 hal tersebut maka konsep breeding dalam makna dan implementasi yang sebenarnya harus secara konsiten dilaksanakan.

Konsep breeding yang sebenarnya mengandung beberapa komponen yaitu (1) Arah breeding (breeding direction) mengarahkan breeding yang dilakukan untuk menghasilkan ternak tipe apa, daging, kerja, budaya/seni, susu, atau dwiguna; (2) Tujuan breeding (breeding objectives) mengarahkan untuk menghasilkan apa, untuk mencapai apa; (3) Capaian breeding (breeding goal) untuk mencapai tujuan breeding ini maka sasaran capaian apa yang harus dicapai. Apakah ternak keturunan yang dihasilkan nanti memiliki pertumbuhan yang cepat, kualitas produk tinggi, tahan penyakit, dan berapa generasi akan dilakukan, dan (4) Strategi breeding (breeding strategy) yaitu strategi atau program yang disusun dalam rangka mencapai arah, tujuan dan capaian yang dimaksud.

Beberapa etika program breeding untuk menghasilkan keturunan yang bagus harus dipenuhi: proses perkawinan bisa dilakukan dengan normal atau menggunakan teknologi yang disepakati secara etik, tidak menimbulkan kesulitan kelahiran, tidak mewariskan keturuan cacat, tidak menimbulkan tingkat kesakitan atau beberapa kelainan organ pada keturunan (pedet), tidak menimbulkan adanya ketidak seimbangan proposi tubuh dan/atau cacat, menghasilkan produk yang aman dikonsumsi, tidak memberikan efek negatif secara fisiologis, tidak mengakibatkan penurunan fertilitas dan dalam pelaksanaanya serta dampaknya tidak melanggar prinsip-prinsip animal welfare.

Sehubungan dengan prinsip-prinsip breeding tersebut, patutlah kiranya kita cermati praktik program breeding yang telah diterapkan terhadap pengembangan sapi Indonesia dengan menyilangkan sapi-sapi Induk local dengan sapi tipe berat seperti Belgian Blue, yang dalam literatur bobot badanya bisa mencapai 1,3 ton, dan bahkan 1,8 ton. Uraian ini mencakup tinjauan aspek animal welfare, fertilitas, kemungkinan depopulasi, dan peluang keberhasilan program.

Kesejahteraan Tenak (animal wefare)

Kesejahteraan ternak atau animal welfare merupakan aspek yang harus diperhatikan dan diterapkan dalam berbagai kegiatan praktis di bidang peternakan, karena ini sudah merupakan kesepatan internasional yang wajib dipatuhi. Pelanggaran terhadap etika animal welfare bisa menjadi petaka bagi pemilik program, karena akan memunculkan issue-issue moral negative yang kurang menguntungkan bagi program atau pemilik usaha peternakan.

Perkawinan atau pesilangan antara induk yang sangat besar dengan pejantan yang sangat kecil sehingga menyulitkan terjadinya kawin alam namun dipaksakan juga merupakan pelanggaran etik. Demikian juga sebaliknya, perkawinan atau persilangan pejantan bertipe besar dengan induk bertipe kecil yang tidak seimbang sehingga bisa mengakibatkan beban induk saat perkawinan alam, atau perbedaan yang teralalu besar sehingga mengakibatkan keturunan dengan berbagai kelainan juga merupakan pelanggaran etik. Perkawinan yang tidak seimbang yang menghasilkan fetus / pedet yang berukuran sangat besar sehingga memberikan peluang besar terjadinya kesulitan melahirkan juga perlu dihindari. Terjadinya dystocia berulang sudah pasti menjadi masalah besar bagi peternakan, induk harus dibedah untuk membantu kelahiran, dan ini akan membatasi jumlah anak yang bisa dihasilkan oleh induk yang sama. Paling hanya 2 atau 3 ekor yang bisa dihasilkan induk selama hidupnya, dibandingkan sampai 6 – 8 ekor pedet yang dihasilkan pada perkawinan normal.

Persilangan antara sapi breed besar dan kecil atau sedang yang menghasilkan keturunan dengan efek hipertopi (pertumbuhan sel/organ yang sangat cepat) atau hipotropi (pertumbuhan sel/organ yang lambat) sehingga menjadi komposisi yang tidak proporsional bisa mengakibatkan pedet menjadi menderita dan berkembang tidak normal. Sapi BB dengan perototan ganda (double muscle = DM) secara umum mengidap kelainan yang disebut dengan Muscular Hypertrophy atau kondisi dimana tumbuh kembang otot tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah-masalah fisiologis. Karena kelainan otot yang berlipat ganda tersebut tidak hanya terjadi pada daging tetapi juga pada organ-organ tubuh. Perkembangan jaringan otot tubuh yang berlebihan yang berefek pada cepatnya pertumbuhan otot-otot pada organ jantung dan paru bisa menyebabkan uptake oksigen kurang normal, juga sirkulasi darah kurang seimbang, sehingga pedet mengalami kekurangan oksigen dan tertekan / stress.

Sering juga terjadi pertumbuhan otot yang sangat cepat tidak diimbangi dengan pertumbuhan dan kematangan tulang-tulang penyangga tubuh, sehingga kemampuan gerak terganggu. Ini juga termasuk dalam kategori pelanggaran etik.

Telah jamak diketahui bahwa 99% sapi betina DM harus mengalami operasi cesar untuk melahirkan, karena organ reproduksinya memiliki perototan ganda sehingga salurannya menyempit. Diketahui pula bahwa fetus/ pedet DM memiliki pundak yang lebar yang berkontribusi pada distokia atau kesulitan melahirkan sehingga kurang lebih 70% induknya (dari bangsa apapun) harus mengalami operasi cesar. Operasi cesar ini bertentangan dengan kaidah animal welfare dan akan berkontribusi pada depopulasi ternak yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Persilangan antara breed lokal dengan breed eksotik tipe besar sangat bermanfaat untuk meningkatkan preduktivitas dan kualitas daging. Namun masalah etik kesejahteraan ternak dan kesehatannya juga harus mendapatkan perhatian.

Depopulasi
Depopulasi atau penurunan populasi dapat bermakna dua hal, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung berarti jumlah ternak bisa berkurang oleh karena suatu perlakuan atau kondisi tertentu seperti pemotongan, kematian, atau pemindahan ke tempat lain. Secara tidak langsung bisa bemakna dalam jangka Panjang, peluang untuk peningkatan populasi semakin kecil atau laju pertumbuhan populasi semakin menurun.

Contoh yang kedua sudah kita alami berulang kali di negeri tercinta ini. Bisa terjadi apabila: (1) persilangan yang menghasilkan keturunan dengan fertilitas yang rendah. Bagi keturunan betina, memiliki kemampuan untuk bunting sangat rendah, sehingga tidak layak lagi sebagai induk yang baik, sering terjadi repeat breeder, dikawinkan beberapa kali baru bisa bunting. Ini sangat merugikan, karena induk yang mengalami repeat breeder logikanyanya harus di culling atau disingkirkan. Bagi anak jantan tidak layak digunakan sebagai pejantan karena komposisi genetiknya sudah bercampur baur, sehingga tidak bisa diprediksi keturuannya seperti apa; (2) apabila persilangan dengan berbagai masalah fertilitas pada keturunan deprogramkan untuk menghasilkan F1 yang akan dipotong baik untuk anak jantan atau betina. Ini bisa berakibat lebih fatal lagi. Dengan program ini, maka induk-induk yang digunakan tidak akan memiliki keturunan yang diwarisi, artinya apabila induk-induk sudah tua maka tidak ada lagi proses penggantian atau replacement. Itu sama saja dengan program depopulation secara perlahan-lahan tapi pasti. Saat ini pun dimana-mana kita sudah mengalami kesuitan untuk mencari ternak asli Indonesia sebagai induk, karena hampir semua ternak local Indonesia sudah tercemar dengan breed eksotik yang menghasilkan keturunan dengan berbagai masalah reproduksi. Berapa cepat laju depopulasi di Indonesia, perlu dilakukan kajian dan perhitungan, namun pasti bisa dibuat model dan dihitung.

Sebenarnya hal ini bisa diatasi apabila ukuran populasi sapi kita sangat besar seperti di Australia (populasi sapi melebihi jumlah penduduk, 28 juta, penduduk kurang dari 25 juta), dimana persilangan menghasilkan sapi komersial Brahman cross dibatasi harus mengandung genetik Brahman minimal 40 persen, sedangkan yang lain dipertahankan dalam breed murni.

Peluang pewarisan Sifat pada Keturunan
Pertanyaan menarik adalah seberapa besar keturunan bisa menyerupai sifat-sifat unggul dari pejantan? Persilangan sapi-sapi bangsa unggul dari Eropa seprti Limousin, Simental, Brangus dan Belgian Blue tidak selalu menghasilkan keturunan seperti yang diharapkan, tergantung pada karakter dan arsitektur genetik dari sifat yang dinginkan tersebut yang dimiliki oleh pejantan. Apabila sifat unggul pada pejantan tersebut adalah poligenik (dipengaruhi banyak gen), maka akan diwariskan kepada keturunannya secara additif atau berbanding lurus dengan prosentase komposisi bangsa ternak jantan. Namun apabila sifat yang dimaksud adalah monogenik (dikontrol oleh satu gen) maka kemungkinan besar akan diwariskan kepada keturunannya jika sifat yang dimaksud adalah dominan. Hal ini diperoleh biasanya untuk sifat-sifat yang diwariskan dari komponen genetik yang belum mengalami mutasi. Namun apabila keunggulan sifat itu akibat adanya mutasi gen sehingga menjadi resesif, maka peluang terjadinya pewarisan memiliki mekanisme yang lebih kompleks; karena pengaruh gen resesif akan tertutupi oleh pengaruh gen yang dominan. Mekanisme ini membuat sifat DM pada BB hanya dapat terwariskan jika keturunannya memiliki sepasang (atau dua buah) gen yang resesif.

Dari uraian tersebut diketahui bahwa keturunan hasil persilangan antara BB dengan ternak lokal tidak akan mewarisi sifat perototan ganda sehingga kenampakannya akan sama dengan persilangan sapi eksotik biasa. Akan tetapi sapi keturunan BB ini tetap memiliki separuh gen DM. Baru nanti pada generasi berikutnya (F2); ketika sapi betina yang memiliki separuh gen DM dikawinkan lagi dengan semen sapi BB, maka 50% keturunannya memiliki peluang mewarisi sifat DM. Keturunan generasi F2 ini diprediksi akan muncul dalam jangka waktu kurang lebih 5 tahun setelah dimulainya program crossbreeding dengan menggunakan semen sapi BB.

Penutup
Crossbreeding atau persilangan bangsa ternak local dengan bangsa ternak impor (eksotis) memiliki prospek untuk dapat meningkatkan produksi daging nasional. Namun, crossbreeding harus didesain sedemikian rupa supaya strategi atau program yang disusun sesuai dengan arah, tujuan dan capaian yang diharapkan. Implementasi crossbreeding juga harus memperhatikan aspek-aspek konsep breeding, animal welfare, kemungkinan depopulasi dan pola pewarisan sifat. Karena jika tidak, program yang dijalankan tidak akan efisien dan menjadi pemborosan anggaran negara.

Crossbreeding akan optimal jika indukannya adalah sapi lokal Indonesia yang disilangkan dengan sapi impor yang unggul. Oleh sebab itu mekanisme replacement stock untuk sapi lokal harus menjadi prioritas.

Crossbreeding dengan sapi BB yang memiliki perototan ganda perlu dikaji lagi. Penyebaran mutasi pada sapi BB ini memiliki resiko yang tinggi. Karena secara teoritis, berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di negara-negara lain, program crossbreeding dengan sapi BB tidak direkomendasikan. Karena dibalik superioritasnya yang berupa produksi daging yang tinggi, sapi ini memiliki masalah yang kompleks terkait pada aspek fisiologi, kesehatan, animal welfare, peluang depopulasi serta adaptabilitas pada lingkungan dan sumber pakan tropis. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *