Artikel ini (Stop Impor Daging dari India) pernah dimuat di harian kompas 12 Februari 2018, namun karena masih relevan dengan fenomena terjadi outbreakPMK di India (https://goo.gl/Wf1jR3) di Wilayah Chhatbir, pada bulan Februari 2018 dan di Rajasthan, Punjab dan Uttar Pradesh (https://goo.gl/sMwsiv) pada akhir Desember 2018, maka penulis mencoba mengupdatenya sesuai dengan data saat ini.
Berdasarkan Rakortas Kabinet di bawah koordinasi Menko Perekonomian pada bulan Desember tahun 2018 lalu, pemerintah bersepakat akan melakukan importasi daging kerbau dari India sebanyak 100 ribu ton untuk tahun 2019.
Kebijakan ini mengulang keputusan yang sama pada tahun 2018 lalu. Keputusan ini bertentangan dengan UU No.41/2014 yang diputuskan oleh MK tanggal 7 Februari 2017 tentang perkara No.129/PUU-XIII/2015 bahwa kebijakan importasi tersebutsejatinyadapat dilakukan pada kondisi negara dalam keadaan darurat. Selain itu, pemerintah boleh mengimpor daging dari negara yang memiliki zona wilayah bebas penyakit hewan menular utama, khususnya penyakit mulut dan kuku(PMK). Nyatanya, menurut OIEbahwa India sampai saat ini masih belum bebas PMK dan tidak memiliki zona bebas PMK.
Dalam sistem perdagangan bebas dunia, Indonesia telah meratifikasi seluruh perjanjian perdagangan bebas dengan WTO. Sehingga setiap yang berkaitan dengan perdagangan internasional tentunya harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan organisasi tersebut. Secara operasional perdagangan ternakdan produk ternakpun harustunduk mengikuti seluruh sistem dan prosedur yang ditetapkan oleh OIE. Menurut norma yang berlaku, bahwa negaraatau zona suatu negarayang memiliki status bebas PMK, tentunya hanya boleh berdagang dengan negara/zona suatu negara yang memiliki status sama yaitu yang bebas PMK.
Impor dari India
Menurut Soedradjat (2012) bahwa pada tahun 1806 di zaman pemerintahan Hindia Belanda, untuk pertama kalinya mendatangkan bangsa sapi Zebu oleh para pedagang dari India ke Jawa Timur. Sedangkan, pada tahun 1842 telah didatangkan pula bangsa sapi Ongole oleh pemerinah Hindia Belanda untuk program ongolisasi di Pulau Sumba. Empat puluh lima tahun kemudian, sekitar tahun 1887 untuk pertama kalinya terjadi outbreakPMK di Malang, kemudian di tahun 1973 di Bali dan tahun 1983 di Blora Jawa Timur. Melihat pengalaman ini, ternyata masuknya suatu penyakit dari satu wilayah ke wilayah lainnya memerlukan waktu.
Berdasarkan pengalaman tersebut, pemerintah dalam hal ini Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan berusaha melakukan berbagai upaya untuk membebaskan negeri ini dari wabah PMK tersebut dengan melakukan berbagai langkah. Hasilnya, telah dilakukan deklarasi bebas PMK pada tahun 1986. Upaya ini telah membuahkan hasil, yaitu diperolehnya pengakuan dari OIE ditahun 1990, bahwa Indonesia telah bebas PMK tanpa vaksinansi.
Namun, ditahun 2016 lalu pemerintah telah membuat kebijakan yang sangat kontroversial dari sisi profesi peternakan/kedokteran hewan, yaitu membebaskan impor daging kerbau dari India. Kebijakan tersebut tertuang dalam Permentan No.17/2016, SK Mentan No.2556/2016 dan PP No.4/2016. Kebijakan tersebut, bertolak belakang dan menerabas berbagai kebijakan normatif yang selama ini berlaku. Atas dasar hal tersebut, siapakah sesungguhnya yang diuntungkan dari kebijakan ini?
Manfaat Impor daging India
Sejak tahun 2013, pemerintah menggunakan patokan harga sebagai indikator keberhasilan pembangunan sapi potong. Hal ini tersirat dari kebijakan Permendag No.669/2013. Namun juga, sesungguhnya indikator harga produk merupakan insentif bagi peternak dalam mengembangkan usahanya. Menurut hasil kajian Tawaf (2013) bahwa harga suatu produk dapat menerangkan mengenai peningkatan skala suatu usaha peternakan.
Artinya, peternak akan mengembangkan usahanya jika harga hasil produksinya menguntungkan. Faktanya, harga yang dikehendaki pemerintah jauh di bawah harga pokok produksi peternak. Berbagai teori, konsep dan kebijakan digulirkan bahkan dana triliunan rupiah digelontorkan pemerintah untuk merealisasikan harga yang ditetapkan pemerintah. Sejak pembatasan kuota impor sapi bakalan, dugaan kartel, pembebasan impor daging dan jeroan serta moratorium SPR (Sentra Peternakan Rakyat), merealisasikan impor daging India, perubahan bobot impor sapi bakalan dan rasio impor sapi bakalan dengan indukan, semua kebijakan tersebut ternyata tidak mampu menurunkan harga seperti yang dikehendaki.
Bahkan yang terjadi sebaliknya, importasi sapi bakalan menurun sampai 50%, sementara impor daging meningkat, beberapa perusahaan penggemukan sapi impor menghentikan usahanya, importasi daging India meningkat, beberapa perusaahaan feedlot milik WNI di Australia dijual, pemotongan betina produktif meningkat mencapai 1 juta ekor/tahun, dan pemotongan sapi-sapi lokal menurun tajam dan harga daging tetap bertengger stabil tinggi.
Di sentra konsumen, Peternak rakyat, tidak lagi menguasai pangsa pasar daging sapi di dalam negeri. Bahkan menurut penelitian Pataka (2016) bahwa akibat kondisi yang tidak kondusif selama ini usaha peternak rakyat merugi sekitar Rp30 triliunan. Hal ini terutama disebabkan meningkatnya biaya produksi yang tidak diimbangi oleh kenaikan harga hasil produksinya. Bila kondisi ini dibiarkan tidak mustahil negeri ini akan masuk pada kondisi ‘food trap’ pangan daging sapi/kerbau.
Secara ekonomi, kehadiran daging India yang diharapkan dapat menurunkan harga, faktanya tidak memberikan pengaruh apa-apa. Bahkan inflasipun tidak dipengaruhinya. Manfaat kehadirannya hanya dinikmati oleh para pedagang dan importir. Mereka bisa meraup keuntungan yang menggiurkan dengan selisih marjin sekitar Rp35 ribuan rupiah. Selain itu konsumen daging sapi yang hanya 16% dan berpenghasilan menengah atas, yang sesungguhnya tidak perduli terhadap harga. Kita pun sangat paham, yang selama ini merasa risau terhadap kenaikan harga daging hanya industri prosesing daging bukannya konsumen daging rumah tangga.
Stop Impor
Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya pemerintah harus segera merevitalisasi PP No.3/2017 tentang Otoritas Veteriner, antara lain sebagai berikut :
- Hendaknya, segera memberdayakan atau membangun laboratorium dan infrastruktur yang diperlukan guna menangkal PHMS (Penyakit Hewan Menular Strategis) khususnya untuk Penyakit Mulut dan Kuku.
- Menyiapkan dana tanggap darurat yang cukup bagi kemungkinan terjadinya PHMS, sehingga jika terjadi outbreak peternak tidak menjadi korban.
- Penyiapkan tenaga medic veteriner, dengan membangun sekolah-sekolah menengah kejuruan (SMK vet) dan perguruan tinggi (FKH) sesuai dengan tuntutan kebutuhannya.
Melihat fakta dan fenomena yang terjadi, sesungguhnya sangat bijak jika pemerintah di tahun 2019 tidak merealisasikan (stop) impor daging asal india, sebab tidak ada manfaatnya baik secara teknis, sosial bahkan ekonomi sekalipun. Selain hal tesebut, dengan terjadinya outbreak PMK di India ditahun 2018 lalu, harus dijadikan ancaman dan kehati-hatian terhadap kemungkinan berjangkitnya PMK di negeri ini. Rochadi Tawaf (Dewan Pakar PB ISPI dan Peneliti Senior LSPPI). IT & Media ISPI