Teknologi Inseminasi Buatan (IB) pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun lima-puluhan. Kemudian mulai dilakukan ujicoba dan disosialisasikan ke daerah-daerah pada tahun 1969, namun kebijakan penerapan IB oleh Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan baru dimulai tahun 1976. Kebijakan penerapan IB saat itu ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah dan sapi potong melalui grading up. Inseminasi Buatan sebagai teknologi reproduksi, dalam penerapannya merupakan salah satu komponen penting dalam mencapai tujuan kebijakan di bidang perbibitan. Menurut Gordon (2004:49-50), bahwa IB sebagai teknologi reproduksi, tidak diragukan lagi adalah cara yang paling penting yang diterapkan pada sapi selama abad 20, karena IB secara relatif, lebih murah dan mudah untuk diterapkan. Menurut Skjervold (1982:13-14), selama dua dekade terakhir IB telah menjadi cara perkawinan yang paling penting, dan lebih jauh IB telah memberikan dimensi baru pada kegiatan pembibitan ternak sapi.
Inseminasi Buatan, secara umum bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu genetik ternak, (2) mempercepat penyebaran gen-gen unggul pada sapi keturunannya dan (3) meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul (Foote 1981:13-39 dan Gordon 2004:51). Sebagai implikasi dari penerapan IB ini adalah meningkatnya produksi dan produktivitas ternak turunannya, sekaligus dapat mempercepat peningkatan populasi.
Setelah hampir enam dekade sejak IB diperkenalkan, respons masyarakat di Indonesia terhadap teknologi IB ini peternak menjadi IB minded. Teknologi IB telah menggantikan cara perkawinan sapi secara alami (kawin alam) yang selama ini telah dilakukan oleh peternak secara turun-temurun. Cara “kawin alam” ini telah menjadi bagian dari sistem sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang bersangkutan, bahkan menjadi kearifan lokal.
Dalam perspektif ekonomi, suatu produk, baik barang maupun jasa, dapat dikategorikan menjadi empat jenis produk (goods), yaitu private goods, public goods, common pool goods, dan toll goods. Penentuan ketegori barang/jasa tersebut berdasarkan kuadran yang dibangun dengan aksis excludability (pengecualian) dan basis rivalry (persaingan). Private goods, mencerminkan tingkat excludability dan rivalry tinggi. Ini berlawanan dengan public goods, yang mempunyai tingkat excludability dan rivalry rendah. Sebagai public goods, maka ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membiayai/memfasilitasi. Hal ini bisa dikarenakan swasta belum/tidak ada yang tertarik bisnis di bidang tersebut, atau usaha ini dianggap tidak menguntungkan. Padahal barang/jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat (menjadi hajatnya orang banyak).
Common pool goods, adalah barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai atau berupa aset milik pemerintah, di mana masyarakat dapat bersaing untuk memanfaatkannya barang/jasa atau aset tersebut. Contoh di bidang peternakan adalah padang penggembalaan umum (pangonan); di luar peternakan adalah taman kota dengan segala fasililas olah raganya. Sedangkan toll goods adalah barang/jasa yang pembangunannya dibiayai oleh pengguna atau pengambil manfaat dari barang/jasa tersebut, seperti jalan tol. Logikanya, suatu saat biaya (modal) pembuatan jalan tol akan lunas, dan penggunaan jalan tol menjadi gratis.
Berdasarkan hasil analisis ekonomi, dapat disimpulkan bahwa semen beku (sebagai barang) dan pelayanan IB (sebagai jasa) termasuk kategori privat goods. Artinya, semen beku dan layanan IB sangat layak diperjual-belikan dan dapat memberikan keuntungan bagi pelaku baik sebagai distributor, inseminator maupun pengguna semen beku (peternak).
Dalam prakteknya selama ini produksi semen beku masih dilakukan oleh Pemerintah melalui UPT Pusat maupun UPT Daerah. Untuk distribusi semen beku dan pelayanan IB, sebagian masih dilakukan oleh pemerintah (Pusat dan dinas daerah), sebagian lain oleh swasta/masyarakat sendiri, baik oleh koperasi maupun inseminator swadaya (inseminator “plat hitam”). Perkembangan terakhir, Balai Besar IB Singosari telah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), artinya (1) UPT dapat memanfaatkan pendapatannya yang berupa PNBP (pendapatan negara bukan pajak) untuk digunakan sebagai “modal belanja” UPT, dan (2) mengatur “gaji” karyawannya sendiri sebagai insentif, di luar gaji sebagai pegawai negeri. Mungkinkah status BLU BBIB Singosari ini akan bermuara kepada privatisasi produksi semen? Atau secara lebih luas lagi, program IB secara nasional diprivatisasi?
Pada awalnya, IB sebagai program Pemerintah, diberlakukan secara gratis. Berdasarkan tingkat “penerimaan” masyarakat terhadap IB, khususnya peternak sapi potong. Maka untuk pelayanan IB dibedakan untuk masing-masing daerah. Secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu daerah swadaya dan daerah pengenalan IB. Untuk daerah swadaya, di mana permintaan terhadap IB sudah tinggi, maka pelayanan IB masuk kategori private goods. Artinya, baik semen maupun jasa pelayanan IB harus dibayar oleh pengguna IB sebagai pelanggan. Sedangkan untuk daerah pengenalan (introduksi), di mana tingkat penerimaan dan permintaan peternak masih rendah, maka sebagian besar penyelenggaraan IB masih disubsidi oleh Pemeritah, melalui pengadaan dan distribusi semen, maupun pelayanan IB-nya. Bahkan, untuk intensitas tertentu, pelayanan IB kepada peternak, tidak dikenakan biaya, alias gratis. Dalam konteks ini IB (produk semen dan jasa pelayanannya) masuk kategori public goods.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pelayanan IB bisa dilakukan oleh inseminator pemerintah (PNS, inseminator “plat merah”), bisa juga dlakukan oleh inseminator swasta, atau inseminator swadaya kelompok (inseminator “plat hitam”). Syaratnya, kedua inseminator tersebut harus mempunyai surat ijin melakukan inseminasi (SIMI) yang dikeluarkan oleh Ditjen Peternakan. Pelaksanaan pelatihannya bisa dilakukan oleh UPT Pusat ataupun Dinas Provinsi yang menangani urusan peternakan, dengan kurikulum/modul dan standar kompetensi yang telah ditetapkan oleh pusat, yaitu Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Untuk melakukan privatisasi IB, memerlukan kajian tersendiri. Karena, sebagai institusi Pemerintah dengan mandat/tugas yg diberikan, investasi sarana dan prasarana industri semen beku biasanya tidak masuk dalam perhitungan dalam penetapan harga produk (semen beku). Saat ini, produksi semen beku masih “monopoli” Pemerintah c.q. BBIB Singosari dan BIB Lembang sebagai UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dengan kata lain, belum ada pesaingnya, khususnya dari sektor swasta. Menjajaki kemungkinan produksi semen beku diserahkan kepada swasta (privatisasi), termasuk distribusi dan pelaksanaan IB-nya secara nasional, maka sebelumnya perlu dipertimbangkan: Pertama, pemahaman yang benar tentang kedudukan dan tugas UPT BBIB Singosari dan BIB Lembang; Kedua, melakukan kaji ulang (review) terhadap kasus-kasus sejenis, jika ada; dan Ketiga, sebagai perbandingan, kita bisa belajar dari kasus privatisasi yang telah banyak dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Menurut Donald Featherson (CIReS, 2007:39), privatisasi adalah proses pengalihan fungsi, tanggung jawab dan penguasaan pemerintah atas aset-aset tertentu kepada sektor swasta. Ada tiga bentuk privatisasi, yaitu:
- Contracting Out, yakni ketika pemerintah menyerahkan tugas pelayanan negara dalam mengelola sumber-sumber publik kepada sektor swasta,
- Asset Transfer, yang dilakukan dengan mendivestasi aset-aset pemerintah yang berhubungan dengan pelayanan publik. Tujuannya adalah untuk mengalihkan aset-aset pemerintah kepada pihak swasta sebagai sarana memperoleh keuntungan. Tetapi privatisasi ini dibatasi hanya pada aset-aset yang tidak mengganggu jalannya fungsi pemerintahan, serta hanya bila pelayanan publik tersebut dipandang akan lebih memadai jika ditangani oleh swasta.
- Managed Competition. Bentuk privatisasi ini relatif baru. Dalam proses privatisasi ini, entitas publik dimungkinkan saling berkompetisi dengan sektor swasta untuk terlibat dalam pelayanan publik. Entitas publik dan sektor swasta dimungkinkan mengajukan proposal untuk saling berkompetisi dalam memperoleh peluang memenangkan aset pemerintah atas pelayanan publik. Proposal ini mensyaratkan spesifikasi lengkap program yang diajukan, struktur evaluasi formal program, termasuk metodologi evaluasi anggaran.
Kembali kepada wacana privatisasi IB, berdasarkan hal-hal di atas, maka privatisasi harus dilihat dari dua perspektif yang berbeda, dengan mempertimbangkan kepentingan keduanya, yaitu dari sisi pandang pemerintah sebagai pengembil kebijakan, dan dari sisi pandang masyarakat (peternak) sebagai sasaran kebijakan.
Dalam bab penutup, CIReS (2007:173-178) memberikan catatan, yang bagi penulis hal ini bisa menjadi pertimbangan juga jika pelaksanaan IB akan diprivatisasi.
Pertama, privatisasi sepatutnya tidak dilakukan secara seporadis dan tergesa-gesa, tapi merupakan bagian dari strategi pembangunan jangka panjang pemerintah untuk mengembangkan aset negara dengan keterlibatkan swasta sebagai mitra usaha.
Kedua, privatisasi tidak serta-merta mengalihkan sepenuhnya hak kontrol pemerintah atas pengelolaan aset-aset strategis negara, apalagi alih tanggung jawab keadilan distribusi dan pelayanan sosial. Seperti dketahui, bahwa keragaman SDG sapi asli/lokal merupakan aset negara yang mempunyai nilai penting dan strategis dalam rangka mendukung ketahanan pangan asal hewan, kesehatan, energi, lingkungan dan keamanan negara, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan dijaga kelestariannya.
Ketiga, privatisasi patut dilakukan secara bertahap, dengan tetap melibatkan peran aktif pemerintah dalam mengontrol kinerja perusahaan, termasuk menetapkan strategi jangka panjang pembangunan nasional.
Keempat, perlunya kerangka hukum terpercaya, pasti, dan transparan untuk mengatur pelaksanaan privatisasi. Kepastian hukum menjadi begitu penting untuk menghindari praktik politisasi atas keputusan privatisasi.
Kelima, dalam privatisasi sektor publik, pemerintah harus mengutamakan aspek keadilan komsumsi dan distribusi sosial.
Pertanyaannya, jika IB sudah diprivatisasi, lalu bagaimana dengan keberadaan kelembagaan Balai IB? Di sini perlunya Balai IB melakukan transformasi kelembagaan, dari produsen semen menjadi sebagai center of exelences. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, UPT selain melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, ia juga melaksanakan tugas teknis penunjang tertentu. Sebagai center of excellence, Balai IB bisa menjadi rujukan untuk pengembangan teknologi produksi semen, lebih spesifik lagi, untuk teknologi penampungan, pengenceran dan pengujian semen, teknologi pakan untuk sapi pejantan (proven atau elite bull), dan pelatihan-pelatihan lain, seperti pelatihan untuk inseminator, PKB dan ATR.
Privatisasi IB, mulai dari produksi semen, distribusi dan pelayanan IB harus tetap dalam koridor arah kebijakan Pemerintah terkait dengan program perbibitan sapi nasional. Dengan kata lain, hak kontrol pemerintah atas pengelolaan aset-aset strategis negara oleh swasta, seperti sumber daya genetika sapi asli/lokal Indonesia, jenis-jenis sapi (semen beku) impor yang boleh diproduksi, harus tetap dipertahankan. Begitu juga dalam implementasi IB di lapangan harus sejalan dengan kebijakan dan tujuan program/kegiatan pemerintah, memperhatikan wilayah-wilayah perbibitan, seperti wilayah pemurnian, persilangan, maupun pelestarian, baik dalam rangka menghasilkan jenis sapi baru ataupun final stock sebagai sapi bakalan untuk penggemukan.
Jakarta, Desember 2020
Penulis adalah Direktur Pakan Ternak Periode 2010-2015 dan Penulis Buku “Adopsi dan Difusi Inovasi Inseminasi Buatan di Indonesia”
tulisan yang sangat bagus sekali
terkadang saya juga heran mengapa inseminasi buatan di Indonesia tidak di swastakan saja, tugas pemerintah cukup meregulasi saja (terutama masalah aturan main semen yang di inseminasi dan mengatur tentang produksi betina sdg lokal), sehingga peningkatan populasi dan industrialisasi budidaya sapi lokal akan semakin baik.
saya juga merasa untuk menjadi petugas inseminasi buatan untuk saat ini benar benar eksklusif dan hanya untuk kalangan tertentu saja, terutama dalam urusan mengurus surat izin