MERAPI: “Gerakan Memberdayakan Ekonomi keluaRgA Peternak kambIng”

Dr. Ir. Fuad Madarisa, MSc. Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas di Padang dan Sekretaris ISPI 2020-2024

Dilema pengembangan usaha kambing di Sumatera Barat menjadi perbincangan dalam silaturahmi para peternak, Sabtu 13 Februari 2021 di Payakumbuh. Dihadiri lebih dari 120 orang peternak dan pihak terkait, bertekad mengatasi kemelut dengan arah MERAPI atau gerakan ‘Memberdayakan Ekonomi keluaRgA Peternak kambIng’. Cara pengembangan adalah melalui ‘membuka pasar lebih lebar’, untuk menarik produksi. Baik untuk pasar setempat atau luar daerah, baik informal atau formal, baik berupa olahan atau belum dan baik dengan bantuan teknologi maupun kebijakan. Guna mendukung gerakan MERAPI, membutuhkan dua bentuk pembenahan institusi. Pertama, perbaikan aspek administrasi agar diakui oleh Negara. Kedua, peningkatan ekonomi yang bertumpu pada kinerja institusi bagi penegakan aturan yang fair/adil.

Uraian berikut membingkai kembali mozaik perkembangan usaha ternak kambing. Pertama, sosok dilematis usaha ternak kambing. Kedua, bentuk perbaikan nasib dari kehidupan melalui usaha kambing oleh Baznas. Ketiga, teladan pembenahan institusi yang menerima pengakuan negara melalui merek dagang (MD). Akhirnya tentang ikon MERAPI itu sendiri sebagai solusi.

1. Posisi dan Peran Kambing di Tengah Masyarakat Cukup Dilematis

Selain positif, kerap kali kesan bertendensi negatif. Memang ada yang berfaedah, seperti bulat tahi kambing dan susu kambing (obat). Tetapi, sejumlah istilah membuat ternak kambing menjadi ‘berjarak’ secara psikis. Misal; “kambing hitam (penanggung beban derita), bau kambing (tengik tidak disukai), kandang kambing (centang perenang), dan makan kambing (memilih yang muda dan enak saja)”. Bandot (suka gonta ganti wanita).

Lebih dari itu gulai kambing juga bermakna ganda. Kesan tinggi lemak, pemicu sakit. Dilain pihak, kecuali bulan puasa, gulai kambing banyak peminat pada hari Jumat. Tentu, ada ‘pemahaman’ yang berlangsung dinamis di tengah masyarakat. Kenapa  ada perilaku seperti itu. Realitas ini perlu dikaji dengan pembandingan kepada hasil uji laboratorium. Antara persepsi masyarakat terhadap produk dari ternak kambing dengan fakta kandungan unsur produk itu sendiri. Jadi, beternak kambing menghadapi stigma pengembangan.

Padahal struktur sosial dan ekonomi, usaha kambing relatif aman. Ia berada dalam genggam dan pengendalian tingkat lokal. Apalagi secara teknis, beternak kambing cepat siklus produksinya. Kambing bisa beranak tiga kali dalam dua tahun. Sesudah yang pertama, kerap beranak kembar. Kambing relatif jinak dan bisa di bawah kendali wanita dan anak anak. Kambing tidak membutuhkan lahan dan kandang yang luas. Jadi, modal usaha lebih sedikit ketimbang ternak besar. Kondisi begini lebih leluasa mengembangkan usaha. Keadaan yang relatif cocok dengan kondisi lanskap Sumatera Barat.

Soalnya ialah pendekatan pengembangan. Memang, perlu transformasi kepada ‘memperluas pasar’ ketimbang ‘mendorong produksi’ selama ini. Sehingga, daya tarik pasar yang menghela bagi pembenahan pengelolaan kambing. Celakanya, ada pada stigma pengembangan ternak kambing di atas. Padahal, nabi pun juga pernah memelihara kambing. Jadi beternak kambing ialah mengikut sunah.

Maka, paket cerdas melibatkan kolaborasi para pihak perlu dicermati. Seperti: pastikan skim ternak kambing bagi pemulihan bencana yang berkolaborasi dengan BNPB. Paket ternak kambing mengatasi kemiskinan, kerjasama dengan Baznas. Pengolahan kambing menjadi produk kuliner yang khas, sebagai ikon pariwisata. Akhirnya, simak kambing Aqiqah dan Qurban, sebagai teladan. Jadi perlu promosi (online, cetak dan langsung) dan kolaborasi para pihak (pemerintah berupa aturan kebijakan; swasta berupa efisiensi dan produktivitas serta masyarakat peternak berbentuk produksi/ pengolahan) yang sinergis – baik ke dalam maupun keluar – bukaan ?.

2. Perbaikan Nasib Kehidupan Melalui Kegiatan BAZNAS

Baznas ialah kependekan dari badan amil zakat nasional. Satu lembaga yang menfasilitasi perbaikan nasib kaum miskin dan orang-orang terlantar, termasuk merehabilitasi pasca bencana. Bentuk fasilitasi, diantaranya ialah paket bantuan ternak kambing; dua ekor betina dan seekor jantan. Tentu, untuk keluarga kategori miskin. Contohnya seperti di Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat.

Secara teknis, kambing bisa beranak tiga kali dalam dua tahun. Kecuali pada anak pertama, seterusnya kambing kerap beranak kembar. Pendekatan yang berbasis pada keluarga merupakan inti fasilitasi bagi penerima manfaat. Dengan begitu, usaha kambing dapat dikelola oleh semua anggota keluarga; anak-anak dan perempuan. Secara sosial budaya, dua sumber daya (anak dan harta) memang dimiliki oleh wanita (matrilinial). Keadaan topografis daerah yang bergelombang, berbukit, dan gunung (yang tidak datar), relatif cocok dengan ternak kambing.

Begitulah, seputar lima tahunan, satu keluarga di nagari Andaleh telah memelihara 56 ekor ternak. Ini sebuah perubahan atau transformasi nyata. Oleh karena, terjadi pindah kategori; dari miskin menjadi kaya. Dari tiada, menjadi berpunya. Dari penerima; tangan di bawah kepada (semestinya) pemberi; tangan di atas. Sesuai standar, punya 40 ekor kambing sudah wajib berzakat dalam kurun waktu satu tahun. Jadi keluarga penerima paket/manfaat, mesti melakukan transformasi menjadi pemberi paket/ manfaat.

Soalnya ialah bagaimana proses perubahan mental psikologis berlangsung?. Ranah afektif (kemauan) dari tiga aspek penilaian Bloom, pada keluarga penerima manfaat. Apa saja langkah kerja fasilitasi yang perlu dilakukan baznas? Tidak dalam bentuk teknis memelihara kambing, tetapi proses perubahan mental spiritual. Semacam transformasi dari ‘tangan di bawah menjadi tangan di atas’. Dengan demikian tersedia satu standar kerja untuk direplikasi /diulangi di tempat lain. Sebuah SOP (standard operating procedure) yang bertolak dari bukti nyata. Skim atau alat untuk keluar dari garis kemiskinan. Bukankah ini bisa menjadi judul kajian setingkat pasca sarjana ?.

3. Pembenahan institusi usaha ternak kambing

Sekali waktu Theodor Shanin, seorang pengajar sosiologi dari Inggris, tetapi cukup lama berkiprah di Rusia, menyebut tentang masyarakat tani. Masyarakat tani ternak yang maju ialah ‘menjadi kota dan diakui oleh negara’; ujarnya. Itulah yang terjadi dengan produk unit pengolahan susu kambing ‘Rantiang Ameh’ Kabupaten Agam.

Nomor di atas ialah izin edar susu kambing pasteurisasi dengan merek caprigold. Ini terhitung sejak tanggal 18 Februari 2019, yang berlaku selama lima tahun. Selamat atas transformasi kepada formal, sah dan diakui dengan resmi.

Pengukuhan tersebut menjadi tiket masuk ke pasar formal. Tanda ‘cakap hukum’, yang layak menandatangani kontrak. Ya, satu perjanjian formal transaksi – jual beli produk. Semacam tanda bebas hambatan dalam penjualan. Produk olahan dalam jalur off-farm dari kerangka kerja agribisnis. Ia berbasis pada SOP (standard operating procedure) yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Sebuah capaian memuaskan, buah daya juang tiada henti, penuh daya upaya dan jaringan kerja.

Standar itu sendiri mesti terukur dan teruji. Standar untuk susu menjadi watak industri paling tinggi indeksnya (17 poin), di kalangan produk ternak. Padahal industri unggas saja indeksnya cuma 14 poin. Oleh karena itu, pasti ada dukungan dari kompetensi sumberdaya manusia yang di atas rata rata. Kemudian, kolaborasi antar disiplin ilmu. Termasuk peduli pada kemajuan ilmu dan aplikasi bioteknologi.

Soalnya adalah tantangan ke depan, paling tidak, ada dua hal. Pertama, upaya terus menerus mempertahankan SOP. Baik dari sisi kecakapan sumberdaya manusia, proses kaderisasi, maupun kapasitas lembaga serta mutu peralatan. Kedua, tuntutan transformasi kepada formal dan diakui negara itu sendiri. Tentu, sebagai model untuk menghela kualitas produk susu kambing dari peternak lainnya. Supaya SOP dan ASUHnya menular dan menjadi institusi usaha ternak kambing berdaya. Sebuah transformasi dari ‘rantiang’ yang mudah ‘patah’ kepada ‘ameh babungkah’, bukan?

4. Upaya Solusi Melalui Gerakan MERAPI

Sumber biaya untuk menopang usaha peternakan kian bervariasi. Cara yang relatif baru melalui kemitraan (public-private partnership). Banyak pihak berkolaborasi dan melibatkan diri. Misalnya, Bank BTN dan Menko perekonomian untuk kambing dan domba, Bank BNI dan CSR sejumlah perusahaan untuk bisnis jagung.

Sumatera Barat melakukan fasilitasi CSR Bank Indonesia sejak lima tahun terakhir. Ada kawasan pembibitan sapi Bali di Pasaman Barat. Kemudian sapi perah di Padang Panjang. BAZNAS juga memainkan peran bagi mustahik, di Tanah datar, melalui paket ternak kambing. Fasilitas jaminan melalui Jamkrida juga tersedia.

Khusus untuk ternak kambing, lokasi sekitar dan perluasan dari seputar gunung Merapi menjadi berpotensi. Karena fasilitasi BAZNAS sukses menambah jumlah kambing dan memulai aktivitas pupuk organik. Beberapa peternak bertransformasi dari penerima zakat menjadi pemberi zakat, lantaran total kambing mereka melewati 40 ekor. Peternak kambing di Salimpaung sukses membuat sabun berbasis susu kambing, yang sempat dijual ke Malaysia. Dekat itu berdiri pusat pelatihan bagi pembenahan kompetensi peternak.

Kemudian, sebelah Kabupaten Agam, peternak meraih SKLB (surat keterangan layak bibit) ternak kambing, pada sisi input. Dari ranah pengolahan, peternak mendapat kelayakan dari BPPOM, untuk produk susu kambing. Negara mengakui bahwa usaha dan produk ternak kambing ada garansi. Dengan kata lain sekeliling gunung Merapi telah menjadi basis usaha dan pengembangan bioteknologi serta pengolahan produk ternak kambing. Meski wilayah administrasinya berbeda beda. Termasuk upaya perluasan yang menjangkau semua daerah sampai ke tingkat nagari.

Nah, ada sejumlah tanya yang mengemuka. Bisakah potensi seputar gunung Merapi bertransformasi menjadi kawasan pengembangan bisnis ternak kambing ?. Apalagi MERAPI dipahami sebagai “Memberdayakan Ekonomi keluaRgA Peternak kambIng”, bukan? Kemudian, dapatkah sinergi dan kolaborasi dalam fasilitasi berlangsung? Karena secara bersama kebutuhan kawasan ‘Merapi’ adalah memperluas pasar, agar bisa mengehela potensi produksi dan pengolahan. Kemudian, ada institusi forum silaturahmi peternak, modal sosial kerja bareng dengan unit kajian Sei. Putih untuk (kambing Boer) dan penerapan bioteknologi mulai berjalan dilapangan. Semoga, MERAPI bisa merajut kolaborasi dari semua ‘keunggulan’ lembaga dan institusi yang ada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *