Permasalahan peternakan sapi/kerbau di Indonesia
Produksi daging sapi dan kerbau pada dekade ini tidak mengalami peningkatan karena sebagian besar peternak rakyat kehilangan motivasi untuk beternak. Ada dua hal yang sangat berpengaruh terhadap motivasi tersebut yakni permasalahan impor dan rantai bisnis yang panjang. Masalah impor daging sudah lama menjadi perdebatan, tidak hanya dalam bidang peternakan dan perdagangan, tetapi sudah merambah semua unsur termasuk ke dunia politik dan bahkan hukum. Impor daging sudah menjadi kepentingan banyak pihak di negeri ini, bahkan telah banyak menelan korban akibat terjerat pidana, tetapi yang paling menderita adalah masyarakat ekonomi lemah terutama peternak.
Kalau kita cermati lebih dalam, ternyata daging merupakan komoditi yang menggiurkan banyak pihak, “ibarat gula banyak dikerubuti semut”, ternyata bisnis ini melibatkan banyak uang. Untuk dapat menikmati uang yang banyak tersebut para pengusaha besar mencari segala cara dan yang paling gampang adalah dengan mengimpor daging. Impor daging ini menyebabkan permintaan terhadap ternak lokal menjadi menurun. Penurunan permintaan ini menyebabkan harga jual juga mengalami penurunan, sehingga peternak tidak tertarik lagi untuk melanjutkan usahanya.
Faktor lain yang menyebabkan penurunan minat peternak adalah panjangnya rantai pemasaran. Rantai agribisnis peternakan sapi/kerbau sangat panjang mulai dari pembibitan, penggemukan, pemotongan dan berujung pada pemasaran daging. Setiap mata rantai dihubungkan pula oleh pedagang perantara. Masing-masing mata rantai dipegang oleh aktor yang berbeda. Sayangnya distribusi rasa manis yang diterima oleh masing-masing aktor tidak sama, berbanding terbalik dengan rasa tebu. Kalau rasa tebu, semakin ke pangkal semakin manis. Sebaliknya yang dirasakan oleh aktor dalam bisnis peternakan, semakin ke ujung yang semakin manis. Makanya banyak pengusaha berebut main di bagian ujung, yakni sebagai pedagang daging yang menikmati keuntungan lebih banyak. Sementara peternak hanya menikmati sedikit recehan. Belum lagi risiko yang harus mereka pikul akibat kematian ternak, piutang yang tidak tertagih kepada pedagang perantara, bahkan tidak jarang menderita kerugian akibat kecurian ternaknya. Kondisi demikian menyebabkan peternak menjadi “hambar hatinya’ untuk tetap bergelut dalam bidang peternakan sapi atau kerbau.
Sumberdaya Lokal dan Jiwa wirausaha
Potensi sumberdaya alam masih tersedia cukup besar di Indonesia. Lahan untuk menanam hijauan masih tersedia cukup memadai. Hasil samping dan limbah pertanian seperti jerami padi, limbah sawit, limbah jagung serta limbah sayuran mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan. Di samping itu ternak lokal seperti sapi peranakan onggol (PO), sapi pesisir, sapi Bali dan kerbau juga mempunyai potensi genetik yang sesuai dengan kondisi alam dan ketersediaan pakan di dalam negeri. Seorang wirausaha yang kreatif dapat melihat potensi tersebut untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang tinggi seperti petuah Ciputra “seorang entrepreneur itu mampu mengubah sampah menjadi emas”.
Penelitian-penelitian di Perguruan Tinggi dan Badan-badan Litbang telah banyak menghasilkan teknologi dan inovasi, namun kebanyakan masih tersimpan dalam laporan dan jurnal ilmiah, belum diaplikasikan ke tingkat praktisi. Hal ini disebabkan penelitian tersebut masih lebih terfokus kepada teknis, namun belum bernilai ekonomis. Seorang wirausaha yang inovatif dapat menggiring produk teknologi tersebut ke dunia komersial sehingga biaya produksi dapat ditekan.
Menangkap Peluang Bisnis sapi/kerbau di Momen Idul Adha
Kita mestinya bersyukur dengan adanya perayaan hari raya qurban, dimana permintaan terhadap ternak sapi/kerbau meningkat. Dengan adanya penjualan ternak qurban ini terjadi peredaran uang dari kota ke pedesaan dalam jumlah yang banyak, sehingga peternak serasa mendapatkan semangat baru dalam meningkatkan usaha peternakannya. Ada faktor yang menguntungkan pada momen lebaran haji ini yakni permintaan yang banyak menyebabkan harga yang lebih baik. Di samping itu rantai pasar juga sedikit lebih berkurang.
Namun beberapa hal yang perlu diperbaiki yakni tingkat pembagian keuntungan yang kurang adil antara pedagang dengan peternak. Pada umumnya pedagang lebih banyak memperoleh keuntungan dibandingkan dengan peternak. Disamping itu peran pemerintah juga sangat diharapkan di dalam mengawasi pemotongan sapi/kerbau betina. Ada kecenderungan di beberapa wilayah dimana mereka memilih sapi betina untuk qurban karena harganya yang lebih murah. Faktor lain yang juga perlu mendapat perhatian dari pemerintah adalah faktor kesehatan ternak yang dijadikan ternak qurban.
Peluang bisnis ternak qurban ini mestinya ditangkap dengan perencanaan yang matang untuk memanfaatkan sumber daya yang ada, mumpung pengusaha-pengusaha besar belum melirik peluang bisnis ini. Berdasarkan pengalaman penulis dalam menggeluti bisnis ini, kunci utama dalam menjalani bisnis ternak qurban adalah 1) menjual langsung ke konsumen (tanpa melalui pedagang perantara), 2) menjaga loyalitas konsumen dengan memberikan ternak dengan kualitas terbaik 3) menggunakan sumberdaya seefisien mungkin.
Bagaimana Mewujudkannya ?
Mewujudkan bisnis sapi/kerbau qurban yang berkelanjutan perlu kelembagaan yang mapan. Kelembagaan tersebut dapat berupa Badan Usaha Milik Nagari atau dapat juga berupa Koperasi. Badan usaha ini bertindak sebagai perusahaan inti yang mengelola permodalan, penyediaan pakan dan pemasaran. Anggota masyarakat sebagai peternak plasma yang bertugas sebagai pemelihara sapi induk yang akan menghasilkan sapi/kerbau bakalan yang nantinya ditampung oleh perusahaan inti. Perusahaan inti selanjutnya melakukan penggemukan selama lebih kurang 4 bulan dan selanjutnya dijual ke masjid masjid di perkotaan dengan kualitas dan harga yang telah mempunyai standar spesifikasi dan harga yang jelas.