Tahun 1968 adalah awal dimulainya sejarah Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI). Erwin Soetirto dalam buku Catatan Perjalanan 40 Tahun ISPI, mengatakan , waktu itu sebanyak tujuh orang sarjana peternakan angkatan pertama IPB, berkumpul untuk mendirikan organisasi yang kemudian dikenal dengan nama Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI). Ketujuh orang tersebut adalah Ir. Erwin Soetirto, Ir. Djarsanto, Ir. Rachmat Hidayat, Ir. Jan Leswara, Ir. Ignatius Kismono, Ir. Koeswardhono Mukdidjo, Ir. Yayan Suchriyan S.
Pada acara Diskusi Sejarah ISPI yang dilakukan ISPI PC Bogor 20 Juni 2020, Ignatius Kismono, menyatakan tujuh pendiri ini kemudian menyelenggarakan Kongres ISPI pertama pada 20 Agustus 1968 di Ciawi Bogor, dan kemudian tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahir ISPI
Berdasarkan Anggaran Dasar ISPI, kongres merupakan institusi tertinggi pengambil keputusan. Dalam forum kongres itulah terjadi pembahasan tingkat nasional yang melahirkan susunan Pengurus Besar ISPI periode berikutnya, penyusunan program kerja, penyempurnaan AD/ART dan wacana mengenai sikap organisasi terhadap masalah-masalah nasional.
Sejak berdiri, para pendiri ISPI tampak selalu berupaya mengelola organisasi ini dengan menjalankan tertib organisasi yang baik sesuai AD ART meskipun pada saat itu jumlah sarjana peternakan masih sedikit.
Ada dinamika menarik dalam pemilihan Ketua Umum di era itu, dimana pernah terjadi selama masa kepengurusan terjadi pergantian antar waktu akibat sang Ketua Umum harus menjalankan tugas ke luar negeri atau ke daerah.
Berikut data kongres yang dirangkum dari buku Catatan perjalanan 40 ISPI dan bahan buku “Refleksi 50 Tahun ISPI” yang sekarang dalam proses penyusunan.
Tabel : Daftar Kongres ISPI dan Ketua Umum Terpilih
Terlihat dari waktu penyelenggaraan kongres, ada perbedaan masa kepengurusan antara kongres yang satu dengan kongres berikutnya. Kongres II ISPI berlangsung tahun 1974, selisih 6 tahun dibanding kongres I. Berikutnya Kongress III ISPI berlangsung tahun 1979 (selisih lima tahun). Dari kongres III hingga IX penyelenggaraan kongres mulai konsisten tiap 4 tahun sekali, kecuali antara kongres V dan VI yang selisihnya enam tahun.
Dari catatan yang ada, Kongres V ISPI di Yogyakarta tahun 1988 sebenarnya menetapkan bahwa kepengurusan PB ISPI berlangsung 1988-1992. Akan tetapi pengurus PB ISPI yang dipimpin Erwin Soetirto di masa itu memutuskan untuk memperpanjang hingga 1994, dengan alasan bahwa di tahun 1992-1994 PB ISPI sedang mengalami kesibukan sebagai tuan rumah konferensi AAAP (Asian Australasian Association of Animal Production Society) yang berlangsung di Bali tahun 1994. Pada tahun 1994 itulah, selain sebagai penyelenggara AAAP, ISPI juga menyelenggarakan kongres VI.
Dengan menyimak runutan kongres-kongres tersebut, tergambar ada dinamika cukup menarik untuk dicermati. Generasi pendahulu di ISPI ini merupakan peletak dasar sebuah organisasi. Para pendiri ini mengawal visi dan misi organisasi. Mereka seperti bergantian menjadi komandan ISPI dari kongres ke kongres.
Kongres pertama di Ciawi, Bogor, 20 Agustus 1968 menunjuk Kooswardhono Mudikdjo (1968-1974) sebagai Ketua Umum pertama didampingi oleh Sekjen Asi Napitupulu. Dilanjutkan dengan Kongres II ISPI di Cipayung, Bogor, 29 Juli-1 Agustus 1974 yang mengamanahkan Ketua Umum kepada Djarsanto selama periode 1974-1979.
Pada kongres pertama hanya diikuti oleh para pendiri dan beberapa alumni peternakan IPB (Bogor) . Kepengurusan pun baru ada di tingkat pusat, belum terbentuk kepengurusan daerah. Pembentukan cabang baru dimulai pada Kongres II di Cipayung, Bogor, 29 Juli-1 Agustus 1974. Pada saat itu, pelaksanaan kongres sekaligus menjadi waktu pelantikan pengurus cabang. Kepada para pengurus cabang dihimbau membentuk pengurus sebelum berangkat ke Bogor, sehingga sebelum dimulai kongres sudah terbentuk pengurus cabang.
Namun pelantikan pengurus di tahun 1974 ini terhambat lantaran Ketua Umum PB ISPI (1968-1974) Kooswardhono Mudikdjo berhalangan hadir, karena sedang bertugas ke Amerika Serikat. Panitia mengambil inisiatif meminta kepada Kooswardhono yang sedang berada di Amerika Serikat membuat surat kuasa kepada Djarsanto untuk melantik pengurus cabang. Akhirnya beberapa pengurus cabang waktu itu sudah terbentuk dan langsung mengikuti kongres di tempat sama, yakni di Cipayung, Bogor, Jawa Barat.
Ketua umum hasil kongres awal, hampir semuanya menjadi birokrat dan menduduki posisi strategis, sehingga sering mendapatkan kesempatan bertugas ke daerah, bahkan ke luar negeri. Ini membawa implikasi pergantian ketua umum dalam masa kepengurusan. Bahkan pernah terjadi pergantian komandan ISPI terjadi hingga 3 kali dalam satu kepengurusan, seperti hasil Kongres III ISPI di Denpasar, Bali.
Kongres III ISPI di Bali, 22-24 Februari 1979 memberi mandat kepada Alirahman sebagai ketua umum periode 1979-1983. Alirahman didampingi oleh Sekjen Soepodo Budiman. Namun, baru setahun menjabat, Alirahman mendapat tugas ke Amerika, sehingga kepengurusan ISPI hasil Kongres Bali, hanya efektif berjalan 2 tahun (1979-1981). Kepemimpinan diteruskan oleh Erwin Soetirto. Belum genap setahun menjabat, Erwin Soetirto juga ditugaskan menjadi Kepala Dinas Peternakan di Provinsi Maluku.
Pergantian antar waktu terpaksa kembali dilakukan dan mandat diserahkan kepada Yayan Danu Atmadja yang berasal dari Departemen Koperasi. Namun dalam catatan rekam jejak PB ISPI, kepemimpinan Erwin waktu itu belum dibukukan dan yang tercatat menggantikan Alirahman adalah Yayan Dani Atmadja(1981-1983).
Pergantian antar waktu ini hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan antar pengurus alias tidak diputuskan melalui Kongres Luar Biasa, karena para peserta kongres Bali sepertinya sudah mengantisipasi masalah tersebut. Pada kongres sebelumnya telah disepakati bila ketua umum berhalangan, maka sebagai penggantinya adalah Ketua I. Bila Ketua I juga berhalangan, maka diganti Ketua II, dan seterusnya hingga ke Bendahara Umum.
Seperti diketahui, Alirahman adalah sarjana peternakan yang berkarir di pemerintahan namun di luar Departemen Pertanian. Karirnya di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) cukup cermerlang, hingga mencapai puncaknya sebagai Menteri Sekretaris Negara di masa Presiden Abdurrahman Wahid.
Kasus lain yang cukup menarik terjadi pada perjalanan pengurus ISPI periode 1981-1983. Menjelang Kongres IV ISPI di Malang, Jatim, 28-30 Oktober 1983, Ketua Umum dan Sekjen berhalangan hadir. Sebagai satu-satunya pengurus yang ditunjuk oleh kongres sebelumnya, Baroto, yang waktu itu sedang bertugas di Kalimantan Selatan menyempatkan hadir memberikan laporan pertanggung jawaban pengurus. Baroto waktu itu sedang menggarap Proyek ADB di Kalimantan Selatan untuk kontrak selama 4 tahun (1983-1987).***
Ditulis oleh Bambang Suharno, Pemimpin Redaksi Majalah Infovet, Penulis Buku Catatan Perjalanan 40 tahun ISPI
Sumber foto: Kismono dan Dok Penulis