Dalam upaya memenuhi target swasembada daging merah, kerbau belum memberikan kontribusi yang signifikan jika dibandingkan dengan sapi. Hal ini terjadi karena berbagai faktor. Pertama, jumlah petani/peternak kerbau tidak sebanyak dengan petani/peternak sapi. Kedua, peternakan kerbau rakyat dikelola dengan cara tradisional. Ketiga, selama ini kebijakan pemerintah untuk pengembangan ternak ruminansia, lebih berat ke ternak sapi. Keempat, munculnya anggapan di masyarakat bahwa kualitas daging kerbau jauh lebih rendah daripada daging sapi, dan mengonsumsi daging sapi lebih tinggi status sosialnya dibandingkan dengan mengonsumsi daging kerbau. Kelima, adanya stigma kurang baik yang sering disematkan pada kerbau, misalnya kalau sesuatu yang lamban dicap sebagai kerbau, “kumpul kebo”, dan lain-lain. Akumulasi dari semua faktor tersebut di atas yang menyebabkan populasi kerbau di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sapi. Jumlah populasi kerbau yang sedikit secara langsung berdampak pada rendahnya produksi daging.
Sebagai perbandingan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pada tahun 2020 populasi sapi potong di Indonesia diperkirakan sebanyak 17,5 juta ekor, sedangkan kerbau hanya sebesar 1,18 juta ekor. Produksi daging sapi tahun 2019 diperkirakan 490.400 ton yang dihasilkan dari pemotongan 2.039.000 ekor. Pemotongan kerbau sebanyak 108.000 ekor yang menghasilkan daging sebanyak 24.000 ton. Jika kebutuhan daging merah nasional beberapa tahun terakhir sekitar 700.000 ton per tahun, maka kontribusi daging kerbau terhadap kebutuhan hanya sekitar 3,4%, sementara daging sapi memberikan sumbangan sekitar 70,1%. Defisit kebutuhan sebesar 26,5% (sekitar 185.600 ton) ditutupi melalui importasi daging sapi dan kerbau. Meningkatnya impor daging kerbau India (Indian Buffalo Meat) dari 58,25 ton pada tahun 2016 menjadi 93,91 ton pada tahun 2019 menunjukkan potensi pasar daging kerbau yang besar. Survei penulis juga menunjukkan bahwa IBM menggerus pasar daging sapi lokal hingga 50% yang tidak hanya disebabkan harga IBM lebih murah, namun karena memiliki kualitas dan sifat-sifat fisik yang setara dengan daging sapi lokal.
Melihat fenomena tersebut, maka diperlukan langkah strategis untuk meningkatkan kontribusi kerbau dalam penyediaan daging merah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitasnya (menambah populasi). Salah satu faktor yang menjadikan kerbau memiliki potensi yang besar sebagai penghasil daging adalah kemampuannya yang tinggi dalam mengonversi pakan berkualitas rendah menjadi daging, jika dibandingkan dengan sapi.
Upaya peningkatan produktivitas kerbau dapat dilakukan dengan cara mengubah pola beternak peternak kerbau rakyat yang masih ekstensif ke sistem semi intensif. Pola yang dimaksud adalah mengombinasikan antara sistem penggembalaan dan sistem penggemukan terkurung (di dalam kandang, feedlot). Mekanismenya adalah induk dan pejantan dengan rasio yang tepat dan yang tidak memiliki hubungan kekerabatan digembalakan di areal penggembalaan secara rotasi. Jika memungkinkan metode perkawinan dilakukan dengan memadukan antara sistem intensifikasi kawin alam (INKA) dan aplikasi teknologi inseminasi buatan (IB). Pencatatan (recording) gudel yang dihasilkan dilakukan secara kontinu dengan maksud sebagai proses seleksi. Keturunan yang memenuhi syarat berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dipersiapkan sebagai bibit calon induk pengganti. Sedangkan keturunan yang tidak memenuhi kriteria SNI sebagai bibit, dipelihara secara intensif sistem feedlot untuk penggemukan dan dijual pada saat umur masih muda. Dengan metode seperti ini, kualitas daging kerbau tidak akan kalah dengan daging sapi. Penerapan recording pada ternak memang sesuatu hal yang sangat berat jika harus dibebankan pada peternak. Solusi yang mungkin dapat menjadi pilihan untuk masalah ini adalah peternak bergabung dalam kelompok peternak, dan setiap kelompok peternak memiliki menejer yang mempunyai dasar ilmu peternakan yang bertugas untuk melakukan pencatatan.
Penentuan jumlah gudel yang tidak lolos seleksi sebagai bibit pengganti untuk diarahkan ke program penggemukan dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, hanya sebagian gudel yang tidak lolos seleksi yang digemukkan untuk dipotong sebagai penghasil daging. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk menjaga agar jumlah populasi kerbau tidak turun drastis. Kedua, semua gudel yang tidak lolos seleksi dimasukkan ke program penggemukan sebagai ternak potong. Pemilihan kebijakan poin kedua ini memang akan menyebabkan anjloknya populasi kerbau. Namun demikian, jika semua gudel yang lolos seleksi dikelola dengan baik, maka dengan perhitungan jangka panjang kita akan memetik hasil yang positif. Hal ini terjadi karena dengan menerapkan sistem pemuliabiakan secara ketat dan terarah, akan diperoleh keturunan yang memiliki kualitas genetik yang baik. Artinya, semua kerbau yang dipertahankan memiliki rekaman data performans. Singkatnya, hanya kerbau yang lolos seleksi saja yang diperbolehkan untuk melakukan aktivitas perkawinan. Jadi, dapat dikatakan bahwa pemilihan kebijakan poin kedua akan terasa “pahit” tetapi dalam jangka panjang akan terasa buahnya yang “manis”. Mungkin dengan cara seperti ini akan menjadi titik awal untuk membenahi secara komprehensif sistem peternakan rakyat kita.
Untuk mendukung maksud tersebut di atas, khusus untuk kerbau Kalimantan Selatan, ada beberapa hal yang harus dibenahi. Pertama, perlindungan hukum terhadap sebagian rawa yang selama ini secara turun temurun telah dimanfaatkan oleh peternak sebagai areal penggembalaan. Dengan adanya payung hukum tersebut, akan menciptakan rasa aman dan nyaman bagi peternak untuk mengembangkan usaha peternakannya. Kedua, revitalisasi rawa areal penggembalaan dengan cara menanam kembali hijauan alami yang disukai oleh kerbau sebagai pakan utama. Hasil pengamatan penulis, saat ini areal penggembalaan telah banyak ditumbuhi oleh gulma yang tidak dapat dikonsumsi oleh kerbau. Ketiga, membentuk dan mengaktifkan kembali kelompok peternak kerbau agar benar-benar fungsional. Melalui kelompok peternak yang fungsional ini, pembinaan dan pendampingan oleh pakar dan praktisi lebih mudah dilakukan. Keempat, diketahuinya standar teknis pemeliharaan kerbau lokal sehingga memenuhi kelayakan ekonomis untuk dipelihara sebagai penghasil daging. Kelima, diperlukannya pendekatan khusus secara sosial dan budaya sehingga peternak mau mengubah mindset dan tujuan memelihara kerbau, sehingga terjadi perbaikan sistem produksi yang ada dan menumbuhkan semangat bagi masyarakat untuk mempertahankan kerbau sebagai bagian dari kearifan lokal dan ekosistem rawa.
Sebagai salah satu daerah sentra pengembangan kerbau di Indonesia, Provinsi Kalimantan Selatan memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadikan ternak kerbau sebagai penghasil daging merah. Berdasarkan data BPS pada tahun 2019, Kalimantan Selatan memiliki populasi kerbau sebanyak 17.821 ekor dengan produksi daging sebesar 829 ton yang berasal dari pemotongan 2.842 ekor kerbau. Kalimantan Selatan juga mempunyai daerah rawa yang cukup luas, yang daya tampungnya sebagai areal penggembalaan kerbau masih dapat ditingkatkan jika dilakukan revitalisasi. Potensi kerbau dan lahan rawa yang cukup besar juga ditunjang oleh jumlah sumber daya manusia peternak yang memadai. Dan yang tak kalah pentingnya, di Kalimantan Selatan terdapat beberapa lembaga/instansi bidang peternakan dan kesehatan hewan, seperti BPTU-HPT Pelaihari, BIB Kalimantan Selatan, Balai Veteriner Banjarbaru, BPTP Kalimantan Selatan, Perguruan Tinggi, dan Dinas yang membidangi peternakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Jika tenaga-tenaga ahli masing-masing instansi tersebut bersinergi dengan baik, maka upaya untuk menjadikan Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah utama produsen daging kerbau adalah sesuatu yang dapat dijangkau.
Penerapan konsep tersebut di lapang memang tidak mudah karena akan terbentur pada beberapa kendala. Dengan demikian, upaya aplikasinya pun harus dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi obyektif peternakan kerbau rakyat di masing-masing daerah. Tetapi, satu hal yang mesti menjadi komitmen adalah bahwa upaya pembenahan peternakan kerbau rakyat tersebut harus berjalan dan dilakukan secara kontinu.
Oleh: Prof. Dr. Ir. Muhammad Rizal, S.Pt, M.Si, IPU & Dr. Ir. Ika Sumantri, S.Pt, M.Si, M.Sc, IPM
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Dewan Pakar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Cabang Kalimantan Selatan.