Terbitnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak, terutama dari insan rumpun Ilmu Peternakan. Hal ini karena Permentan ini juga mengatur tentang pihak yang berwenang melakukan praktik inseminasi buatan (inseminator). Pada Pasal 25 Ayat 2 huruf e disebutkan bahwa syarat untuk memperoleh surat izin praktik paramedik (SIPP) inseminator harus memiliki fotokopi ijazah Sarjana Kedokteran Hewan, diploma Kesehatan Hewan, atau ijazah sekolah kejuruan bidang Kesehatan Hewan. Hal ini karena pada Pasal 6 Ayat 2 dinyatakan bahwa kegiatan inseminasi buatan (IB) adalah wilayah kerja Tenaga Paramedik Veteriner di bawah penyeliaan Dokter Hewan. Merujuk pada kedua pasal ini, maka inseminator yang tidak memiliki ijazah seperti yang disebutkan dalam Permentan tersebut akan gugur haknya sebagai inseminator.
Menurut data pada Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS) jumlah inseminator di Indonesia sebanyak 9.277 orang dengan latar belakang pendidikan yang beragam. Ada yang berpendidikan ilmu peternakan (sarjana, diploma, dan sekolah kejuruan), kedokteran hewan (sarjana, dokter hewan, diploma, dan kejuruan), dan bahkan banyak inseminator yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal bidang ilmu peternakan dan kedokteran hewan. Hal ini berarti bahwa para inseminator dengan latar belakang pendidikan formal beragam tersebut telah memberikan sumbangan nyata dalam menjalankan berbagai program pemerintah (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan) yang terkait dengan penerapan IB secara masif di seluruh wilayah Indonesia. Diawali pada tahun 2016 dengan diluncurkannya program Gertak Berahi dan Inseminasi Buatan (GBIB), kemudian pada tahun 2017 dengan penyempurnaan beberapa hal berganti nama dengan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) dan saat ini berubah lagi menjadi Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (SIKOMANDAN), juga dengan penyempurnaan di berbagai sektor. Pemerintah (Kementan) melaporkan keberhasilan ketiga program ini dalam meningkatkan populasi sapi dan kerbau. Pertumbuhan populasi sapi dan kerbau meningkat dari hanya sekitar 1,03% per tahun menjadi sebesar 3,86% per tahun setelah pelaksanaan ketiga program tersebut.
Teknologi IB merupakan salah satu teknologi reproduksi yang dalam aplikasinya di lapang pada skala besar melibatkan beberapa kegiatan, seperti: 1) Seleksi betina akseptor yang memenuhi syarat secara eksterior (skor kondisi tubuh/SKT) dan secara interior (kenormalan organ reproduksi dan gangguan reproduksi/gangrep), 2) Sinkronisasi estrus (umumnya dengan penyuntikan hormon PGF2α), 3) Pelaksanaan IB, dan 4) Pencatatan (recording). Pertama, untuk melakukan seleksi terhadap kelayakan seekor betina sebagai akseptor IB dibutuhkan keahlian khusus dalam menilai kondisi penampilan luar yang ditunjukkan oleh betina. Pada sapi, secara umum dikenal SKT berada dalam rentang skor 1–5 berdasarkan tingkat kekurusan dan kegemukannya. Betina yang memenuhi syarat sebagai akseptor IB harus memiliki SKT antara 2,5 dan 3,5. Pemeriksaan secara interior yang terkait dengan kenormalan organ reproduksi dan gangguan reproduksi hanya diperlukan jika seekor betina yang mestinya sudah memasuki umur dewasa kelamin tetapi belum juga memperlihatkan gejala-gejala estrus, dan kasus-kasus patologi bidang reproduksi lainnya.
Kedua, sinkronisasi estrus dilakukan untuk program IB yang melibatkan jumlah akseptor yang banyak. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan IB dan kemudahan bagi peternak dalam menerapkan manajemen pemeliharaan pasca-IB. Umumnya sinkronisasi estrus ini dilakukan dengan penyuntikan hormon prostaglandin (PGF2α) secara intramuskuler. Ketiga, teknik pelaksanaan IB pada ternak berbeda antara ruminansia besar, ruminansia kecil, dan unggas. Pada ruminansia besar (sapi dan kerbau) dilakukan dengan teknik rektovaginal, yang umumnya mendeposisikan semen di ujung cervix. Pada ruminansia kecil (kambing, domba, dan rusa) umumnya semen dideposisikan di dalam lumen cervix, dan menggunakan alat bantu berupa spekulum (cocor bebek). Keempat, recording dilakukan oleh inseminator dengan maksud sebagai perangkat kontrol untuk menilai tingkat keberhasilan IB.
Dari keempat rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan kegiatan IB di atas terlihat bahwa tidak semua terkait dengan medik veteriner. Jika harus dipilah berdasarkan kompetensi keilmuan rumpun peternakan dan kedokteran hewan, maka dapat dikatakan bahwa poin 1 tentang SKT dapat dilakukan oleh tenaga kedua rumpun ilmu. Pemeriksaan secara interior terkait dengan kenormalan organ reproduksi, gangguan reproduksi, dan kasus-kasus patologi reproduksi lainnya menjadi kewenangan tenaga rumpun ilmu kedokteran hewan. Poin 2 (penyuntikan hormon PGF2α) menjadi kewenangan tenaga rumpun ilmu kedokteran hewan, tetapi dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh tenaga rumpun ilmu peternakan. Sedangkan poin 3 dan 4 dapat dilakukan oleh tenaga kedua rumpun ilmu tersebut.
Sehingga menjadi sangat wajar jika para sarjana peternakan mempertanyakan kenapa mereka dianggap tidak memiliki kompetensi untuk menjalani profesi sebagai inseminator. Sarjana Peternakan yang dihasilkan oleh Program Studi Peternakan di beberapa Perguruan Tinggi telah dibekali dengan ilmu (teori dan praktikum) yang membuat mereka memiliki kompetensi untuk menjadi inseminator. Teori dan praktikum yang mereka peroleh dalam mata kuliah Anatomi dan Fisiologi Hewan, Ilmu Reproduksi Ternak, Ilmu Pemuliaan Ternak, Teknologi Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio, dan lain-lain menurut penulis cukup sebagai bekal awal untuk menjalankan kegiatan IB. Dan yang terpenting adalah bahwa untuk menjadi inseminator harus melewati proses pelatihan yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat sebagai inseminator yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.
Satu hal yang juga perlu menjadi pertimbangan terkait dengan Permentan ini adalah bahwa jika betul-betul diterapkan maka jumlah inseminator di Indonesia akan anjlok drastis. Hal ini tentu saja akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan program SIKOMANDAN. Dan inseminator yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) akan beralih fungsi menjadi tenaga struktural. Menurut penulis ini menjadi sesuatu yang merugikan karena mestinya tenaga fungsional seperti inseminator, penyuluh, dan lain-lain harus ditingkatkan jumlahnya karena mereka adalah salah satu ujung tombak pembangunan peternakan. Belum lagi jika kita membicarakan seperti nasib inseminator swadaya (non-ASN) yang terdampak akibat regulasi ini. Satu hal yang pasti adalah bahwa untuk menjadikan seseorang sebagai inseminator yang andal memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit.
Menurut penulis membicarakan kewenangan melakukan IB pada ternak bukan dimaksudkan sebagai ajang “perebutan lahan” antara Sarjana Peternakan dengan Tenaga Paramedik Veteriner, Sarjana Kedokteran Hewan dan Dokter Hewan. Akan tetapi ini lebih kepada bagaimana agar insan dari kedua rumpun ilmu yang memiliki irisan kompetensi ini secara bersama-sama dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemajuan pembangunan peternakan di Indonesia. Sehingga, menjadi suatu langkah yang bijaksana jika Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Asosiasi Departemen Reproduksi Veteriner Indonesia (ADERVI), dan organisasi profesi terkait lainnya untuk duduk bersama membahas masalah ini, yang kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah (Kementan) untuk meninjau ulang Permentan Nomor 03 Tahun 2019 tersebut.