Strategi Sektor Peternakan Menghadapi Kebutuhan Daging di Negara Tropis

Kebutuhan bahan pangan dari sektor peternakan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kesadaran akan gizi. Sayangnya, industri peternakan di daerah tropis harus menghadapi berbagai permasalahan, salah satunya adalah perubahan iklim.

Sebagai langkah untuk menghadapi permasalahan tersebut, maka perlu disusun strategi terbaik sebagai pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor peternakan. Berdasarkan hasil pertemuan pada International Conference on Livestock in Tropical Environment (ICLiTE-1) yang diselenggarakan Program Magister, Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret bekerja sama dengan Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia (PB-ISPI) Rabu dan Kamis (1-2/9/21), beberapa hal yang dapat dilakukan adalah melalui perbaikan program breeding dan sistem produksi, pemanfaatan potensi ternak, serta manajemen yang tepat.

Baca juga: UNS dan PB-ISPI gelar General Assembly ICLiTE-1 dan RnD Exchange

Program Breeding dan Sistem Produksi

Sapi yang adaptif pada lingkungan tropis dalam paparan Prof Heather Burrow

Di Indonesia, terdapat lebih dari 6,5 juta peternak yang tergolong sebagai peternak kecil, dengan tingkat kepemilikan 1-5 ekor ruminansia. Meskipun tingkat kepemilikan kecil, tetapi jumlah ini menyumbang hingga 90% produksi daging secara nasional.

Berdasarkan data ini, Prof. Heather Burrow dari University of New England menyatakan bahwa peternak kecil harus fokus pada peningkatan produktivitas dan profitabilitas dari ternak mereka.

“Cara yang paling hemat biaya untuk memaksimalkan profitabilitas dan produktivitas adalah dengan menggunakan jenis bangsa ternak yang paling sesuai dengan lingkungan produksi, contohnya Bali, Ongole dan Madura”, tuturnya.

Menurutnya, program crossbreeding juga dapat diterapkan dengan menggunakan bangsa ternak pejantan yang menghasilkan keturunan mudah beradaptasi. Akan tetapi, crossbreeding harus menerapkan program breeding yang tepat berdasarkan pada berbagai referensi. Selain itu, ternak juga harus mendapat nutrisi yang cukup untuk memaksimalkan pertumbuhan.

Masih dalam agenda yang sama, Prof I Gede Suparta Budisatria, Guru Besar bidang sistem produksi ternak Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada menambahkan, pengukuran produktivitas ternak pada sistem produksi ternak skala kecil tidak bisa menggunakan indikator utama seperti tingkat kelahiran, tingkat pertumbuhan dan sebagainya. Akan tetapi produktivitas harus dilihat dari fungsi output per unit input seperti lahan, pakan, tenaga kerja dan modal.

Mengenai crossbreeding, Prof. Gede menyampaikan bahwa pada Smallholder production system F1 hasil persilangan harus menjadi final stock serta kualitas dan kuantitas pakan harus ditingkatkan. “Apabila peternak ingin melakukan persilangan dengan bangsa ternak eksotik, harus diperhatikan bahwa mereka harus hanya memproduksi feeder atau final stock. Jangan melakukan sistem grading up karena akan menimbulkan masalah. Persilangan juga harus diikuti oleh peningkatan kualitas dan kuantitas pakan”, tuturnya.

Potensi Ternak Sapi di Indonesia

Sapi asli dan lokal Indonesia dalam paparan Prof Sutarno

Indonesia dikenal sebagai negara dengan biodiversitas yang besar. Banyak ternak asli maupun ternak yang sudah beradaptasi dengan lingkungan Indonesia. Oleh sebab itu, sudah seyogianya ternak lokal inilah yang dijadikan sebagai materi perbaikan genetik untuk mendapatkan ternak yang berkualitas dan adaptif terharap lingkungan tropis.

Prof. Sutarno, Guru Besar bidang biomolekuler dari Universitas Sebelas Maret menyatakan bahwa Indonesia memiliki beberapa ternak yang sudah berkembang dengan baik yaitu Sapi Bali, Sapi Ongole, Sapi Madura, Sapi Aceh dan Sapi Pesisir. Sapi-sapi ini memiliki karakteristik adaptif terhadap lingkungan, kemampuan reproduksi yang baik, tetapi memiliki variasi fenotipe yang tinggi dalam satu bangsa. Sehingga diperlukan metode untuk mengembangkan ternak yang secara genetik sudah adaptif pada lingkungan dengan performa yang optimal.

Menurutnya, Marker Asissted Selection (MAS) adalah teknik yang cukup bagus dengan menggunakan penanda DNA yang terkait erat dengan target lokus untuk membantu skrining fenotipik. “MAS adalah metode yang simpel, dapat dilakukan pada usia dini, dan meningkatkan reliabilitas. Metode ini lebih akurat dan efisien dibandingkan seleksi pada fenotip secara langsung”, tuturnya.

Dr. Rochadi Tawaf, ahli sosio-ekonomi ternak dari Universitas Padjadjaran menambahkan, perspektif industri daging sapi di Indonesia ke depan dapat dilakukan pengembangan industri sapi potong berbasis integrasi perkebunan kelapa sawit dan usaha peternakan sapi, pengembangan lahan pasca tambang dan pengembangan industri peternakan sapi di pulau-pulau kosong.

Manajemen Ternak Unggas di Lingkungan Tropis

Seleksi unggas di lingkungan tropis dalam paparan Dr David Pintado

Permasalahan sektor peternakan di area tropis, bukan hanya terjadi pada bidang ternak ruminansia. Bidang ternak unggas juga memiliki permasalahan terkait iklim tropis, salah satunya adalah heat stress.

Ahli mikrobioma dari The University of Queensland, Dr. Elham Assadi Soumeh menyatakan bahwa heat stress pada unggas dapat berpengaruh terhadap efisiensi dan performa produksi, respon kesehatan dan imunitas, stress oksidatif, mikrobiota usus serta respon metabolis. Selain itu, pengaruh paling penting dari heat stress disfungsi mitokondria.

Menurutnya, ada banyak strategi untuk mencegah disfungsi mitokondria. “Mitigasi disfungsi mitokondria dapat dilakukan melalui beberapa strategi nutrisi. Salah satu metodenya adalah pengurangan protein dalam pakan, suplementasi dengan asam amino spesifik, dan pemberian pakan tinggi lemak. Metode lain adalah penggunaan prebiotik, donor metil, elektrolit, antioksidan dan flavonoid”, ungkapnya memberikan solusi.

Selain strategi dari sisi nutrisi, seleksi ternak terbaik juga diperlukan untuk memilih ternak yang paling sesuai dengan kondisi pemeliharaan. Hal ini diperlukan karena performa ternak dipengaruhi oleh genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan.

Dr. David Cavero Pintado dari H&N Internasional, Jerman, menjelaskan bahwa seleksi pada ayam petelur di lingkungan tropis dapat diterapkan pada efisiensi pakan, konversi pakan, warna kerabang telur dan warna bulu.

Beberapa strategi sektor peternakan terhadap kondisi iklim tropis tersebut, perlu dilakukan secara tepat agar mendapatkan kinerja yang optimal. “Industri peternakan di daerah tropis terus menghadapi tantangan yang rumit karena kondisi lingkungan yang keras. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang tepat untuk produksi ternak di daerah tropis untuk mendapatkan kinerja yang optimal”, simpul ketua panitia penyelenggara, Prof. Adi Ratriyanto menutup ICLiTE-1.

Materi dan tayangan ulang ICLiTE-1 dapat dilihat pada laman https://iclite.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *