Susu
Susu merupakan hasil biosintesis dari kelenjar ambing (mammary) hewan, ternak, atau mamalia betina. Susu merupakan emulsi lemak dalam air yang juga merupakan sistem koloid, mengandung protein, karbohidrat, protein, vitamin dan mineral serta berbagai komponen mikro dan trace (Strucken et al., 2015). Biosintesis susu, merupakan proses proses fisiologi yang kompleks dan dinamis (Gasqui and Trommenschlager, 2017), melibatkan sel-sel sekresi epitelial yang menyusun lobus alveolus didalam kelenjar ambing (Ouweltjes, 1998). Susu pada awalnya dihasilkan sebagai sumber makanan utama untuk anak yang baru dilahirkan, dan kemudian berkembang pemanfaatan kelebihannya untuk pangan manusia. Seekor betina mampu menghasilkan susu, setelah melewati masa kebuntingan, artinya hal ini berhubungan erat dengan proses reproduksi. Dapat dikatakan bahwa sebelum produksi susu dapat berlangsung, reproduksi dari seekor betina harus berfungsi secara normal terlebih dahulu.
Sebagai pangan hewani, susu memiliki kandungan nutrisi lengkap yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, salah satunya adalah protein. Komponen utama susu (sapi) terdiri atas protein (3,3-3,5%), lemak (3-4%), laktosa (4,9-5%), air (87-88%), vitamin dan mineral. Protein susu terdiri atas kasein dan whey, didalam susu, kasein mengandung asam-asam amino esensial, dan berbentuk partikel koloid yang disebut casein micelle. Semua komponen penyusun susu dapat berfungsi sebagai pengatur imunitas (immunoregulator) (Gill et al., 2000; Mills et al., 2011), diantaranya lemak dalam bentuk Conjugated Linoleic Acid (CLA), protein dalam bentuk colostrinin dan peptida yang kaya prolin, peptida susu dalam bentuk kasein, β-laktoglobulin, α-laktalbumin, immunoglobulin, laktoferin, transferin dan serum albumin. Kasein dan fraksinya, dapat berfungsi sebagai antivirus dan immunoregulator dengan meregulasi respon innate immune (Kawahara et al., 2005; Tellez et al., 2010). Konsumsi susu pada masa sekarang, dapat menjadi salah satu upaya untuk membantu meningkatkan imunitas yang diperlukan dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Susu dan Kualitas Sumber Daya Manusia
Telah diketahui secara umum, bahwa konsumsi protein asal hewan berkaitan erat dengan hal kesehatan dan kecerdasan. Seperti diketahui bahwa protein hewani memiliki keunggulan pada kandungan asam animo essensial dan nilai biologisnya. Apabila dikaitkan dengan kualitas sumberdaya manusia, berdasarkan data Human Development Index dari UNDP tahun 2020, yang mengukur tentang kesehatan, pengetahuan dan standard hidup, Indonesia menempati urutan ke-107 (http://hdr.undp.org/en/content/latest-human-development-index-ranking). Posisi ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN lainnya yaitu Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand yang berada pada posisi 11, 47, 62, dan 79 secara berturut-turut. Dilihat dari score PISA (Program for International Student Assessment; tahun 2018; https://www.oecd.org/pisa/publications/pisa-2018-results.htm) yang mengukur literasi pelajar usia 15 tahun di Indonesia pada aspek literasi membaca, literasi numerasi atau matematika, dan literasi science, kesemua kemampuan literasi yang diukur menunjukkan score dibawah rata-rata global (lihat tabel). Sebagi contoh literasi membaca negara tetangga Singapura berscore 549 dan Malaysia 419. Benarlah apa yang dikatakan menteri keuangan Ibu Sri Mulyani yang mengajak untuk meningkatkan literasi membaca (https://bisnis.tempo.co/read/1254965/minat-baca-rendah-sri-mulyani-ajak-tumbuhkan-literasi). Layak, apabila kondisi ini langsung maupun tidak dapat dikaitkan dengan konsumsi protein hewani di Indonesia.
Tabel Score Literasi dan Konsumsi Protein Hewani
Pembangunan bidang peternakan, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, sejalan dengan misi Kabinet Indonesia Maju melalui peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas pangan agar tercukupi dan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan.
Data UNICEF mengenai stunting di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 36,4% dan tahun 2018 sebesar 30,8% (https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/), sedangkan pada tahun 2019 berkisar pada 27,67% (https://nasional.kompas.com/read/2020/11/19/17020401/terawan-angka-stunting-di-indonesia-lebih-tinggi-dari-ambang-batas-who). Ini merupakan pekerjaan rumah yang besar untuk menurunkan angka stunting, seperti yang diperintahkan Presiden Joko Widodo dengan target diangka 14% pada tahun 2024. Dalam hal ini, konsumsi susu dapat secara nyata menurunkan kasus stunting karena susu memiliki nilai biologis yang tinggi, sehingga asam-asam amino yang terkandung didalamnya mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Hal ini menjadi salah satu justifikasi perlunya peningkatan pembangunan sektor persusuan nasional untuk membantu pencapaian tujuan tersebut.
Dengan produksi susu nasional sebanyak 997.350 ton dari 584.582 ekor sapi perah, dan permintaan susu sebesar 4.406.940 ton (Peternakan Dalam Angka; BPS 2020) rasanya sulit untuk kemudian mencapai swasembada susu dalam jangka dekat. Paling tidak ada 3 juta ton susu yang harus diimpor setiap tahunnya. Importasi masih diperlukan karena tingkat produksi susu segar dalam negeri, yang sekaligus sebagai bahan utama produk turunan susu lainnya, tidak mencukupi. Dapat dibayangkan berapa valuasi impor untuk susu dan produk turunannya ke Indonesia, dan sampai saat ini Amerika, Uni Eropa dan New Zealand adalah tiga negara pensuplai utama produk susu import bagi Indonesia.
Strategi Peningkatan Produksi Susu
Gap atau jarak antara permintaan dan pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia, menjadi peluang bisnis yang sangat lebar untuk diusahakan. Tidak saja hanya pada produksi susu segar, tetapi pada peluang sarana produksi, rantai logistiknya, pengolahan produk dan hal yang terkait, merupakan potensi yang harus diselesaikan dan dikerjasamakan oleh banyak bidang keilmuan. Berikut hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri (menurut pandangan penulis) yang sampai saat ini masih mendasarkan pada produksi susu asal sapi perah :
1. Peningkatan jumlah dan kualitas sapi perah
Kunci untuk peningkatan produksi susu dalam negeri, diantaranya dengan peningkatan kualitas genetik ternak perah dan peningkatan populasi terutama sapi perah. Jumlah populasi pada aspek reproduksi, dan kualitas sapi dalam perspektif peningkatan kualitas genetik. Hal ini harus berjalan beriringan, karena reproduksi merupakan kunci masuk untuk menambah populasi sekaligus mewariskan genetik tetua yang baik ke anak.
2. Menumbuhkan sentra-sentra sapi perah diluar Jawa
Menurut penyebarannya, sapi FH banyak tersebar di pulau Jawa dengan kompleksitas permasalahan daya dukung, rantai logistik dan sosial ekonominya. Ciri khusus pengelolaan sapi perah ini berada pada small holder, peternakan rakyat, dengan tingkat kepemilikan rata-rata <10 ekor dan intervensi teknologi yang minim. Konsentrasi populasi sapi perah di Indonesia saat ini, paling besar berada di pulau Jawa, dengan populasi terbesar di Jawa Timur, kemudian Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tingkat kepadatan wilayah yang tinggi di pulau Jawa, membuat terjadinya kompetisi daya dukung baik lahan dan pakan untuk pengembangan populasi sapi perah. Pilihan logis adalah mengembangkan titik-titik baru sapi perah diseluruh Indonesia. Tentu saja, hal ini juga harus dibarengi dengan penyiapan sarana produksi, sumberdaya manusia, rantai logistik, pengolahan susu dan pendukung lainnya. Alasannya, produk susu merupakan produk yang mudah rusak, dan harus segera dikonsumsi, atau dapat disimpan dalam waktu yang lama tetapi harus diubah menjadi bentuk lain (produk-produk olahan susu). Selain itu, penguatan kelembagaan para peternak sapi perah di sentra-sentra sapi perah yang baru, perlu untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk regulasi, permodalan, dan hal terkait, agar usaha peternak dapat menguntungkan.
3. Breed sapi baru yang cocok dengan kondisi tropis
Secara historis dan genetis, Indonesia tidak memiliki bangsa ternak sebagai penghasil susu. Sapi perah, masih menjadi penghasil utama susu di Indonesia yang secara umum dihasilkan dari sapi FH, dan sekarang merupakan breed (bangsa) sapi perah yang paling dominan di Indonesia (Widyas et al., 2018), sapi ini juga dapat disebut sebagai sapi Friesien Holstein Indonesia (FHI). Sapi FHI pertama kali diimpor dari Belanda dan selanjutnya didatangkan dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada. Dilihat dari sisi produktivitas, sapi FHI memiliki kemampuan dalam memproduksi susu dan daging, serta memiliki sifat reproduksi yang baik (Wicaksono et al., 2018). Sapi FH di Indonesia memiliki periode laktasi sekitar 10 bulan dan produksi susu sekitar 4000-6000 kg per laktasi (Widyas et al., 2018), bahkan lebih rendah. Dibandingkan dinegara asalnya, jelas kapasitas produksi ini lebih rendah, terlepas dari perbedaan manajemen pemeliharaan dan daya dukungnya.
Disisi lain, permasalahan kesehatan sapi perah salah satunya karena kejadian mastitis klinis maupun sub-klinis senantiasa menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Aspek nutrisi pakan yang tidak diperhatikan, menambah panjang daftar masalah pada pemeliharaan sapi perah yang terkait dengan reproduksinya. Ditambah adanya perubahan iklim global yang langsung maupun tidak mengakibatkan perubahan kemampuan produksi dan kapasitasnya.
Disisi keragaman bangsa sapi perah di dunia, terdapat bangsa-bangsa sapi selain FH yang saat ini dikembangkan untuk lebih adaptif pada perubahan lingkungan dan tentu saja perubahan iklim. Sayup terdengar adanya rencana pengembangan Sapi Jersey (Bos taurus) sebagai breed baru yang akan diintroduksikan di Indonesia, tetapi informasi ini masih harus divalidasi kebenarannya. Selain itu juga ada potensi untuk menggunakan sapi jenis Zebu (Bos indicus), sebagai contoh Sapi Gir (https://en.wikipedia.org/wiki/Gyr_cattle) atau hasil silangannya yaitu Sapi Girolando (https://www.thecattlesite.com/breeds/dairy/73/girolando/), yang dikembangkan untuk sistem pemeliharaan pada kondisi lingkungan yang panas seperti di Brazil. Sapi Nellore atau disebut juga Onggole (Bos indicus) untuk produksi susu (https://www.dairyknowledge.in/article/ongole) dapat juga menjadi alternatif pilihan. Tentu saja pilihan-pilihan tersebut tetap harus mempertimbangkan daya dukung dan sistem produksi (iklim, sumber pakan, dll) yang ada di Indonesia.
4. Breeding sapi perah yang terarah
Pemasalahan peningkatan produksi ternak di Indonesia, salah satunya selalu berakhir pada ketersediaan jumlah bibit dalam arti kualitas dan kuantitasnya, Hal ini memerlukan strategi breeding yang berbasis pada proses reproduksi atau vice and versa, yang terkontrol, terarah untuk menambah populasi dengan tetap mempertahankan kualitas genetik. Sudah sekian lama pengembangan sapi FH di Indonesia, akan tetapi upaya pemenuhan kebutuhan susu sepertinya selalu tidak pernah cukup untuk menutupi permintaan dalam negeri. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi, diantaranya adalah tidak terkontrolnya perkawinan yang kemungkinan sudah membuat sapi FH di Indonesia memiliki tingkat inbreeding yang tinggi. Selain itu, dimungkinkan, sebenarnya sapi FH di Indonesia mampu berproduksi tinggi, akan tetapi tidak adaptif terhadap kondisi lingkungan, dan sistem produksi yang ada di Indonesia yang kebanyakan diusahakan dalam skala kecil. Pertimbangan bahwa Indonesia merupakan negara tropis dengan karakteristik suhu dan kelembaban yang tinggi, dapat menjadi salah satu hal yang mendasari keputusan pengembangan atau pemilihan breed sapi perah yang ada ataupun introduksi breed baru. Evaluasi ini menjadi penting, karena pada akhirnya tuntutan pemenuhan kebutuhan produk pangan hewani asal susulah yang harus dipenuhi dengan berbagai cara.
Kepustakaan:
- Gasqui, P., Trommenschlager, J.M., 2017. A new standard model for milk yield in dairy cows based on udder physiology at the milking-session level. Sci. Rep. 7, 8897. https://doi.org/10.1038/s41598-017-09322-x
- Gill, H.S., Doull, F., Rutherfurd, K.J., Cross, M.L., 2000. Immunoregulatory peptides in bovine milk. Br. J. Nutr. 84, 111–117. https://doi.org/10.1017/s0007114500002336
- Kawahara, T., Aruga, K., Otani, H., 2005. Characterization of casein phosphopeptides from fermented milk products. J. Nutr. Sci. Vitaminol. (Tokyo). 51, 377–381. https://doi.org/10.3177/jnsv.51.377
- Mills, S., Ross, R.P., Hill, C., Fitzgerald, G.F., Stanton, C., 2011. Milk intelligence: Mining milk for bioactive substances associated with human health. Int. Dairy J. 21, 377–401. https://doi.org/10.1016/j.idairyj.2010.12.011
- Ouweltjes, W., 1998. The relationship between milk yield and milking interval in dairy cows. Livest. Prod. Sci. 56, 193–201. https://doi.org/10.1016/S0301-6226(98)00154-7
- Strucken, E.M., Laurenson, Y.C.S.M., Brockmann, G.A., 2015. Go with the flow-biology and genetics of the lactation cycle. Front. Genet. 6, 1–11. https://doi.org/10.3389/fgene.2015.00118
- Tellez, A., Corredig, M., Brovko, L.Y., Griffiths, M.W., 2010. Characterization of immune-active peptides obtained from milk fermented by Lactobacillus helveticus. J. Dairy Res. 77, 129–136. https://doi.org/10.1017/S002202990999046X
- Wicaksono, A.M.M., Pramono, A., Susilowati, A., Sutarno, Widyas, N., Prastowo, S., 2018. The number of service per conception of Indonesian Friesian Holstein with artificial insemination in Selo , Boyolali, Central Java , Indonesia., in: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. p. 012004. https://doi.org/10.1088/1755-1315/142/1/012004
- Widyas, N., Putra, F.Y.Y., Nugroho, T., Pramono, A., Susilowati, A., Sutarno, Prastowo, S., 2018. Persistency of milk yield in Indonesian Holstein cows, in: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. p. 012005. https://doi.org/10.1088/1755-1315/142/1/012005
Good job.. Mantab