Bisnis pabrik pakan ternak di Indonesia dalam beberapa tahun ini mengalami tantangan yang sangat luar biasa, tidak mudah menjalaninya, karena beberapa hal yang cukup menguras tenaga dan pikiran para pimpinan perusahaan pabrik pakan, diantaranya:
1. Kondisi Covid-19. Kondisi ini menyebabkan turunnya “demand” sehingga harga live birds dan telur mengalami fluktuasi yang cukup tajam, bahkan untuk broiler, bisa dikatakan pada tiga tahun terakhir ini, rapornya merah di komersial, sehingga banyak pemain yang tereliminasi dalam rentang waktu tiga tahun belakangan ini. Broiler itu, ibaratnya, seperti pertandingan lari maraton jarak jauh, tidak pernah ada juara, yang ada adalah siapa yg tereliminasi.
2. Kelangkaan jagung dan kenaikan bahan baku, membuat pabrik pakan harus bisa memainkan “optimalisasi” formula pakan, supaya performance stabil dan peternak tidak semakin rugi, sehingga pembayaran bisa lancar dan cash flow pabrik bisa berputar dengan baik. Banyak terdengar beberapa pabrik pakan dijual dan berganti kepemilikan, karena tidak bisa menjaga cash flow DSO = umur penjualan, DIO : umur inventory dan DPO : umur pembelian. Apalagi ditambah intervensi dari pemegang kekuasaan hari ini, yang melarang pabrik pakan untuk menaikkan harga pakan, pada saat harga bahan baku mengalami kenaikan. Alamaakkkk, bisnis apa ini? Bahan baku naik, tapi harga jual nggak boleh naik?
Masih adakah peluang?
Indonesia negara dengan jumlah penduduk hampir 273 juta orang, dengan konsumsi per kapita ayam dan telur yang masih rendah, dengan angka stunting yang masih tinggi, masih sangat banyak membutuhkan ayam dan telur.
Kenapa ayam dan telur? Karena kedua komoditi tersebut, merupakan sumber protein yang paling murah untuk saat ini, sehingga peluangnya masih sangat besar.
Bagaimana model bisnisnya?
Banyak yang bisa dikerjakan dan menjadi pilihan, salah satunya adalah LPF (Limited Partnership Fund). Jualan pakan hari ini namun tidak punya DOC adalah keniscayaan, mau dimakan siapa pakannya?
Tapi mau punya DOC, harus punya PS atau Breeding Farm. Dan lebih aman lagi, punya GPS Quota atau GPS farm. Tidak mudah mempunyai GPS quota, karena dari puluhan bahkan ratusan pemain ayam di Indonesia, hanya 19 perusahaan yang punya Quota GPS. Dengan cara LPF inilah, kita bisa mengawinkan pemilik kuota, pemilik kandang dan pengelolanya.
Contohnya, kita punya ijin trayek pesawat terbang dan kita tidak invest pesawat terbang, tapi bisnis kita adalah “ijin trayek”. Pesawat punya orang, namun kitalah yang mengelola, dan menggunakan bendera kita. Kita akan terhindar dari “resiko investasi” dan kita bisa fokus kepada Core Value, meningkatkan pelayanan dan pemasaran – ini bila di bisnis pesawat terbang.
Aplikasinya di bisnis pakan, juga bisa begitu. Dari mulai GPS, PS dan feedmill, kita bisa melakukan LPF tersebut.
Tidak perlu punya kandang breeding, dan karyawan breeding farm kalau kita hanya perlu dapat DOC FS. Ciptakan model bisnisnya dan fokus pada peran masing-masing dalam suasana yang saling menguntungkan.
Usaha harus dari hulu sampai dengan hilir, tanpa perlu dimiliki sendiri, cukup dengan kerjasama dan saling berbagi. Berbagi investasi, berbagi resiko dan berbagi keuntungan, saya haqul yakin, model bisnis seperti ini, akan bisa bertahan dan menjadi besar di kemudian hari.
Banyak feedmill yang hanya berjalan 20-30 % dari kapasitas produksinya, sangat tidak efisien. Dengan LPF ini, bisa diciptakan sinergi baru yang saling menguntungkan dengan menggabungkan para pemainnya. Dalam irama yang sama, maju dan berkembang bersama-sama.
Jayalah Peternak Indonesia.
Bagus Pekik
Pemerhati Perayaman Indonesia (anggota ISPI)