Haemorrhagic Septicemia/Penyakit Ngorok Pada Kerbau di Pulau Samosir

Disusun oleh: Dr. Nurzainah Ginting (Prog. Studi Peternakan, Universitas Sumatera Utara)

Kabupaten Samosir merupakan daerah pulau yaitu seluruh Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba ditambah sebagian wilayah daratan Pulau Sumatera. Kebanyakan masyarakat memelihara ternak kerbau terutama di Pulau Samosir. Kerbau (Bubalis Bubalis) di Kabupaten Samosir adalah salah satu ruminansia besar yang paling tinggi populasinya di Provinsi Sumatera Utara. Kerbau  di Samosir didominasi oleh swamp buffalo. Hewan endemik tersebut merupakan tumpuan hajat hidup warga namun terjadi trend  penurunan populasi dengan berbagai sebab. Populasi kerbau di Pulau Samosir pada 2021 adalah  17.352 ekor dimana data lima tahun sebelumnya 2017 adalah 24.207 ekor.  Salah satu penyebab turunnya populasi adalah penyakit.

Penyakit yang outbreak beberapa kali adalah Haemorrhagic septicaemia (HS). Outbreak HS dapat terjadi berulang ulang yang mana menyebabkan kerugian besar pada peternak. Di Malaysia, terjadi 48 kali outbreaks  dari 1994 sampai 2005, dengan jumlah kematian 921 kerbau mati dan 394 sapi yang mati.  Kerbau lebih rentan terhadap penyakit HS.  Outbreak terbesar di Pulau Samosir, mencapai ratusan ekor kerbau dan sapi pada tahun 2018.

Dr. Nurzainah Ginting (Prog. Studi Peternakan, Universitas Sumatera Utara)

Organisme Pasteurella multocida dapat bertahan hidup selama berjam-jam dan mungkin berhari-hari di tanah yang lembab dan air kubangan kerbau. Organisme ini ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan penularan/  transmisi organisme P. multocida selama wabah penyakit melalui feses, urine, sekret  dari hidung dan mulut. Ada 4 sindrom klinis pada hewan yang sakit. Hewan pertama-tama akan menunjukkan peningkatan suhu di atas 400C, diikuti oleh edema submandibular dan kemudian gangguan pernapasan dengan sekret hidung yang banyak, dan akhirnya berbaring dan mati. Kematian mendadak pada septikemia hemoragik adalah tanda yang biasa diamati oleh peternak di antara hewan yang berkeliaran bebas selama wabah.

Infections area di Pulau Samosir

Luas wilayah Kabupaten Samosir mencapai 2.069,05 km2, terdiri dari luas daratan 1.444,25 km2 dengan topografi dan kontur tanah yang beraneka macam, yaitu datar, landai, miring dan terjal, dan luas danau 624,80 km2. Kabupaten Samosir terdiri dari sembilan kecamatan. Enam dari kecamatan berada di Pulau Samosir sementara tiga kecamatan berada di daratan Pulau Sumatera.

Berdasarkan hasil analisis tutupan lahan di Kabupaten Samosir masih didominasi oleh vegetasi hutan, yaitu sekitar 49% dari total wilayah kabupaten. Namun di lain pihak vegetasi rumput dan tanah terbuka juga cukup dominan, yaitu sekitar 27%. Lahan milik masyarakat merupakan tanah warisan turun temurun dan di lahan tersebut biasanya ternak masyarakat dibiarkan merumput bebas.

Melimpahnya sumber pakan di di hutan maupun padang rumput menyebabkan perkembangan kerbau sangat baik. Di tempat ini, kerbau milik masyarakat dari desa-desa yang berbeda bertemu. Kerbau senang sekali berendam di lumpur, oleh karenanya di lokasi kerbau banyak ditemukan kolam kecil yang dipakai kerbau berendam bergantian.

Sejak tahun 1989, kasus HS mulai mencuat di Samosir. Berkali kali terjadi outbreak. Kematian banyak terjadi pada kerbau yang bebas berkeliaran di hutan maupun padang rumput. Infections area mencakup seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Samosir. Dari data ternak yang terkena HS, kecamatan Pangururan, Ronggur Nihuta, Palipi dan Simanindo yang terletak di Pulau Samosir merupakan kecamatan yang kerap ditemukan kasus HS. Hal ini berkaitan dengan populasi penduduk yang lebih banyak bermukim di empat kecamatan tersebut dan populasi ternak kerbau paling banyak terdapat di empat kecamatan tersebut. Selain itu cara pemeliharaan yang dilepas di hutan dan padang rumput yang menjadi penyebab kasus HS kerap terjadi di empat kecamatan tersebut.

Kerbau yang mati di lapangan karena HS kerap tidak dikubur. Hal ini disebabkan menguburkan kerbau mati sangat membebani peternak karena tanah di Samosir bercampur batu. Adapun upaya membakar kerbau membutuhkan kayu yang sangat banyak sehingga hal ini tidak dilakukan peternak.

Kuning: Kecamatan dengan populasi kerbau populasi kerbau paling tinggi dan rutin terjadi kasus HE

Gambar 1. Peta pulau Samosir

Topografi di Samosir didominasi landai sampai miring. Pada saat terjadi HE, topografi termasuk berperan dalam penyebaran bakteri Pasteurella multocida B:2 yang ikut bersama run off air hujan. Kerbau yang berendam di kubangan ada bakteri maupun yang memakan rumput yang ada bakteri menjadi terinfeksi oleh HS.

Kemauan Peternak Melaksanakan Vaccinasi

Kemauan peternak melaksanakan vaccinasi hanya muncul bila terjadi outbreak atau bila ternak tetangga ada yang sakit. Hal ini dikarenakan proses mengumpulkan kerbau sangat merepotkan karena kerbau yang dipelihara beserak di hutan maupun lahan penggembalaan. Proses mengumpulkan ternak memerlukan gotong royong.  Ternak biasanya dikumpulkan pada suatu titik yang sebelumnya sudah dipasang kawat berduri keliling. Selanjutnya dipilih satu pohon yang mana pemilik kerbau menaiki pohon tersebut dan dengan memakai tali menjerat tanduk kerbau. Bila posisi kerbau sudah aman, maka petugas kesehatan masuk ke dalam dan menyuntik kerbau. Selanjutnya kerbau disemprot cet untuk membedakan kerbau yang sudah di vaccin. Demikian dilakukan berulang-ulang sehingga untuk memvaccin sekitar 50 ekor kerbau dibutuhkan waktu tiga hari.

Diskusi dgn petugas kesehatan dan ibu pemilik kerbau. Kerbau latar belakang terinfeksi HS

Proses vaccinasi lainnya, kerbau dikumpulkan di kolong rumah. Di pedesaan, rumah masyarakat adalah rumah adat yang mempunyai kolong tinggi dan luas dan diberi pagar. Petugas bisa memvaccin kerbau dari luar pagar pada saat kerbau dekat dengan pagar.  Kehati-hatian sangat dibutuhkan karena berurusan dengan kerbau liar. Oleh karena proses mengumpulkan kerbau sangat merepotkan sementara para peternak adalah juga petani yang sibuk di ladang, maka kemauan masyarakat peternak untuk melakukan vaccinasi sangat minim.

Kemauan peternak melaksanakan vaccinasi juga dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman mengenai manfaat vaccin. Hal ini berkenaan dengan tingkat pendidikan peternak.  Peternak di Pulau Samosir didominasi peternak dengan tingkat pendidikan rendah, kebanyakan tamat SMP. Kebanyakan peternak berusia di atas empat puluh tahun baik bapak maupun ibu.  Angkatan muda tidak banyak yang bermukim di desa, umumnya mereka merantau.  Khusus mengenai penyakit, pengetahuan peternak sangat minim.

Kematian satu ekor kerbau saja sangat menyakitkan kepada peternak, karena mereka menumpukan harapan pada kerbau untuk membantu segala biaya kehidupan termasuk untuk proses ritual adat.

Bantuan dibutuhkan oleh peternak di Pulau Samosir agar populasi kerbau sustainable.  Pulau yang indah ini seharusnya mampu mengundang para peneliti untuk duduk betah melakukan diskusi.  Tidak ada spot yang tidak mengundang decak kagum akan keindahannya. Sepotong surga yang lepas ke bumi.

One thought on “Haemorrhagic Septicemia/Penyakit Ngorok Pada Kerbau di Pulau Samosir

  1. Semoga dengan tulisan ini semakin banyak peneliti yang mau membantu dan memberikan solusi kepada peternak kerbau di sumatera utara khususnya di Pulau Samosir

Tinggalkan Balasan ke Makbul Siregar Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *